Langkah polisi menetapkan Pemimpin Redaksi Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, sebagai tersangka penistaan agama patut disesalkan. Mempidanakan pemimpin media merupakan kemunduran. Apalagi koran itu telah mencabut karikatur yang dipersoalkan dan meminta maaf.
Karikatur soal Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) itu dimuat di Jakarta Post edisi 3 Juli 2014. Menurut redaksi koran itu, karikatur yang mempelesetkan bendera ISIS tersebut diambil dari harian Al-Quds, Palestina. Di bagian tengah diberi gambar tengkorak. Di bagian atas masih ada kalimat tauhid-sesuai dengan bendera aslinya. Pelesetan ini sebenarnya bermaksud mengecam kekejaman ISIS yang membawa-bawa agama dalam sepak terjangnya.
Pemimpin harian itu diadukan ke polisi oleh Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta, Edy Mulyadi. Kepolisian Daerah Metro Jaya kemudian memprosesnya. Proses hukum ini berlebihan karena koran berbahasa Inggris itu telah memahami keberatan pihak yang memprotes karikatur tersebut. Dalam sebuah pertemuan dengan para pemrotes, Jakarta Post telah menjelaskan latar belakang pemuatan karikatur. Harian itu pun sudah menyampaikan permintaan maaf dan kemudian mencabut karikatur tersebut.
Kepolisian memang tidak bisa menolak aduan masyarakat. Tapi polisi seharusnya tidak gegabah menetapkan Pemimpin Redaksi Jakarta Post sebagai tersangka. Apalagi kepolisian sudah meneken kesepakatan dengan Dewan Pers mengenai penyelesaian sengketa pemberitaan. Intinya, setiap ada masalah yang berkaitan dengan pemberitaan mesti diselesaikan lebih dulu di Dewan Pers. Tidak sepantasnya Pemimpin Redaksi Jakarta Post dijerat pidana. Seharusnya, kepolisian mengutamakan penggunaan Undang-Undang Pers.
Pemakaian Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kasus Jakarta Post juga amat janggal. Pasal ini merupakan aturan tambahan yang disisipkan ke KUHP berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan yang lahir pada era Presiden Sukarno ini bertujuan menertibkan kelompok-kelompok yang membuat tafsir yang dianggap menyimpang terhadap agama yang diakui negara.
Hukuman terhadap pelanggaran itu cukup berat, yakni 5 tahun penjara. Tapi penerapan pasal ini sebetulnya tidak mudah, harus melalui penelitian terhadap aliran yang dinilai menyimpang itu oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung. Keberadaan pasal tersebut juga sering dikecam karena dinilai melanggar kebebasan beragama dan memberangus aliran-aliran agama tertentu.
Aneh bila pasal penistaan agama itu digunakan dalam kasus Jakarta Post. Tidaklah relevan karena masalah ini bukan kasus aliran agama yang menyimpang, melainkan pemuatan karikatur di media. Presiden Joko Widodo semestinya segera meminta Kepala Kepolisian RI menelaah masalah ini. Jangan sampai penegak hukum bertindak sewenang-wenang dan menabrak kebebasan pers yang dilindungi konstitusi.