Di tebing Ciliwung yang busuk dan rusak, terkadang ada burung, terkadang kupu-kupu. Warna-warna yang tak diacuhkan.
Inikah sebenarnya yang membuat kita percaya, atau tak percaya, bahwa dunia menakutkan & menyedihkan, atau sebaliknya mempesona & beres, sebab ada desain yang pandai di balik semua ini?
Ciliwung seperti terkutuk: sampah plastik, sisa busa deterjen, kejorokan manusia, gulma yang menyumbattanda ketakpedulian atau putus asa, atau simptom pertama sebuah kota yang tak becus, bukti ketidakmampuan, atau gejala terakhir sebuah masyarakat yang hanya bisa mencemooh diri sendiri.
Tapi burung itu, rama-rama itu hinggap. Makhluk-makhluk kecil yang tak dipedulikan lagi tapi sebenarnya menyimpan sejumlah tanda: lihat, ajaib. Para pengamat burung dan kolektor kupu-kupu akan dapat menyebutkan, betapa ramai ragam warna bulu dan corak hiasan sayap hewan-hewan itu, hingga kita acap kali termenung: apa gerangan daya agung yang mendesain keanekaragaman yang renik dan cantik itu?
Orang-orang alim akan menyebut semua itu tanda kepiawaian Tuhan yang tak tepermanai, dan mengutip Ihya Ulum al-Din al-Ghazali: " kita tak akan mampu, meskipun kalau kita ingin, untuk menyebutkan semua keajaiban dalam seekor tungau, seekor semut, seekor lebah, atau seekor laba-laba."
Yang "paling melata menjelaskan yang paling luhur," kata al-Ghazali, dan dengan rasa syukur yang besar orang pun akan berkata: Tuhan begitu baik, bahkan unggas dan serangga bisa menunjukkan alam semesta ini beres. Allah menciptakannya demikian. Dalam kalimat al-Ghazali yang optimistis pula, "Tak ada, dalam deretan apa yang mungkin, sesuatu yang lebih bagus dan menakjubkan seperti yang ada ini."
Tapi di Ciliwung yang busuk, sesuatu mencegat: kita hidup dengan sesuatu yang jahat. Katakanlah itu korupsi, yang menggerogoti kepentingan dan milik publik, hingga sungai, taman, hutan, udara, jalan, sekolah, museum, rumah sakit, dan entah apa lagi, hancur pelan-pelan. Korupsi adalah durjana, korupsi adalah mala. Bagaimana mungkin durjana dan mala itu memungkinkan kita berkata, puji Tuhan? Bagaimana mungkin ada desain yang pandai di balik dunia yang "bagus dan menakjubkan" ini?
Tapi hampir tiap zaman ada orang yang berbicara tentang desain itu dan memilih sikap tawakal. Mereka percaya keburukan punya peran justru untuk menangkal keburukan. Pada tahun 280-206 Sebelum Masehi, hidup seorang pemikir Yunani bernama Chrysippus, seorang penganut paham Stoisisme, yang berkata, "Hewan yang buas ada untuk menguji kekuatan manusia; taring berbisa sang ular ada untuk jadi obat; tikus-tikus mengajari kita gerak yang trengginas, dan kepinding membuat kita tak tertidur terlampau lama."
Pada abad ke-11 di dunia Islam ada al-Ghazali, dan pada abad ke-18 di dunia Kristen ada Leibnitz, yang mengabarkan optimisme: di dunia yang tampak tak sempurna ini tersembunyi berkah, atau alasan yang cukup kenapa cacat dan mala hadir dalam hidup kita.
Tentu saja datang para peragu. Pada abad ke-18 Eropa pula, Voltaire menulis novel Candide untuk habis-habisan mencemooh optimisme itu, mengolok-olok keyakinan adanya "alasan yang cukup" itu: Pada suatu hari, tokohnya, Pangloss, sang optimis, terkena raja singa. Tubuhnya penuh kudis, matanya menceruk karena kurus-kering, mulutnya mencong, giginya hitam seperti gambir keroak.
Kenapa semua itu terjadi, tanya Candide. Perbuatan Setankah ini? Sang Optimis menjawab: Ah, bukan! Sifilis itu sesuatu yang tak dapat dielakkan. Ia dibawa ke Eropa oleh para awak kapal Columbus dari perlawatannya ke Amerika. Seandainya mereka tak ke sana dan kembali, Eropa tak akan mengenal rasanya cokelat.
Pangloss dan banyak orang lain dapat menjungkir-balikkan jalan pikirannya sendiri untuk bisa tetap berpikir positif. Tapi mungkin juga optimisme sebenarnya datang dari bingung, seperti ketika kita melihat Ciliwung dan alam yang hancur oleh ketamakan manusia. Maka ada kebutuhan untuk secara mental mengatasi kebingungan melihat mala meruyak dan kerusakan seakan-akan tak bisa diatasi. Optimisme mungkin hanya cara untuk menemukan metode di dalam kegilaan yang sedang berkecamuk. Kita tak hendak ikut gila.
Jika orang bicara tentang "berkah", juga di balik Ciliwung yang hancur, perlukah begitu panjang dan luas penderitaan itu? Kenapa Tuhan tak menciptakan dunia di mana yang buruk tak diperlukan sama sekali? Berarti, Tuhan memilih untuk terikat kepada satu desain, dan bila al-Ghazali menyebut bahwa mustahil ada sesuatu "yang lebih bagus dan menakjubkan seperti yang ada ini", tidakkah itu berarti tak ada kuasa Tuhan mengatasi yang mustahil?
Bertahun-tahun lamanya pendirian al-Ghazali ini memang digugat oleh para ulama, seperti direkam dengan bagus oleh Eric L. Ormsby dalam Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over al-Ghazali's 'Best of All Possible Worlds'. Sebab tak gampang memang menjawab, seraya merenungkan Ciliwung dan burung-burung, apa sebabnya ada hal-hal yang menyengsarakan di samping hal-hal yang patut disyukuri.
Problemnya akan mudah bila kita penganut Zoroasterian, yang percaya bahwa roh suci, Spenta Mainyu, adalah saudara kembar roh jahat, Angra Mainyu. Tapi kaum monotheis tak hendak mempercayai dwitunggal itudan harus menjawab kenapa Tuhan yang mahabaik dan sekaligus mahakuasa membuat dunia yang cacat.
Ah, kita tak dapat menuntut Tuhan, kata sebagian orang, untuk mengikuti ukuran "baik", "buruk", "adil", dan "zalim" yang dipakai manusia. Dalam Alkitab, Tuhan membuat Ayub sengsara habis-habisan tanpa sebab, tanpa salah. Membayangkan Tuhan mengikuti ukuran keadilan dan rasio manusia berarti mengurangi kuasa-Nya.
Tapi jika demikian, mungkin benar: manusia penentu ukurannya sendiridan harus bergulat dalam syukur atau cemas, di tengah kebobrokan seperti di Ciliwung dan indahnya bulu sayap burung-burung.
Meskipun ia sering tak berani.
Goenawan Mohamad