Iklan
Kapankah seorang anak yang tak bersalah menjadi seorang perempuan? Nadia menemukan jawabnya ketika ia berumur 18: ketika ia diculik, ketika pintu ditutup di depannya. Ketika ia tidak bisa lagi sendirian berdiri, tak bisa lagi sendirian bermimpi. Berita itu tersiar di seluruh Norwegia 3 Oktober 1997: Nadia, anak imigran dari Maroko yang sudah jadi warga negara Norwegia, dipaksa kembali ke Maroko untuk dikawinkan di negeri Maghreb di Afrika Utara itu. Yang menculik adalah ayah dan ibunya sendiri. Nadia sempat menelepon seorang kawan sekerjanya di toko, sebelum ia tak hadir dalam tugas pada tanggal 1 September. Ia bercerita bagaimana ia dipukul, dibius, diseret masuk mobil yang membawanya, dalam keadaan diborgol, ke Maroko. Paspornya dirampas, dan ia ditahan di rumah masa kecil ayahnya. Mendengar itu, teman-temannya melapor ke polisi. Ketika polisi bergerak lamban, mereka melapor ke Kementerian Luar Negeri. Dengan segera, duta besar Norwegia di Cassablanca datang memberi tahu pemerintah Maroko kasus itu dan berunding dengan orang tua Nadia. Pemerintah Norwegia punya alasan untuk bertindak. Bukan saja Nadia yang sudah jadi warga negeri Skandinavia itu, tapi juga ayah dan ibunya. Sang ayah datang ke negeri itu di tahun 1971 dan jadi warga negara di tahun 1985. Juga sang ibu. Keduanya bisa berbahasa Norwegia, hidup dengan bantuan sosial dari negara, baik buat pensiun si bapak karena sakit jantung maupun buat tiga anaknya. Mereka memperoleh 17.500 kron atau sekitar Rp 19 juta setiap bulan, tanpa si ayah bekerja lagi. Maka sang duta pun berunding dengan keluarga yang tak merasa bersalah itu. Alot, rumit. Sang duta hampir hilang kesabaran, dan tak seorang pun tahu apa yang bisa dilakukannya. Ayah Nadia juga warga negara Maroko, sebuah negeri yang mengakui dwikewarganegaraan. Dalam undang-undang Maroko, si ayah tak menculik anaknya. Di negeri Maghrib itu, seseorang yang sebelum berumur 22 tahun masih berada di bawah wewenang hukum ayahnya. Di Maroko, Nadia belum jadi perempuan, meskipun seluruh cerita ini terjadi karena ia dianggap bukan lagi anak yang tak bersalah. Tapi, pada suatu hari, mendadak Nadia muncul kembali di Bandara Oslo. Ia datang dengan tiket yang dibayar oleh ayahnya. Mungkin takut bila bantuan negara untuknya akan dihentikankarena ia sudah lebih dari sebulan meninggalkan Norwegia tanpa pemberitahuansang ayah tak ingin bersikeras lagi. Tapi setahun kemudian, orang tua Nadia tetap dibawa ke pengadilan. Negara menuduh mereka "dengan keras menahan seseorang di luar kehendaknya". Memang tak ada tuduhan soal "kawin paksa". Tapi, jika benar penahanan itu terjadi, mereka bisa mendapat hukuman penjara minimum satu tahun dan maksimum 15 tahun. Di depan mahkamah itu, Nadia muncul. Ia masuk dari pintu belakang gedung. Kepalanya ditutupi selimut hitam. Ia tak ingin disorot orang ramai, ia tak ingin bertatap pandang dengan ayah dan ibunya. Kemudian diketahui bahwa selama setahun ia bersembunyi, tak tinggal di rumah orang tuanya, melainkan di alamat-alamat yang dirahasiakan. Hari itu ia bersaksi, dengan segala kepedihan, bahwa orang tuanya memang bersalah. Seluruh cerita ini dikisahkan kembali oleh Unni Wikan, guru besar antropologi sosial di Universitas Oslo, yang jadi saksi ahli dalam peristiwa ini, dan menuliskan kasus Nadia dalam jurnal Ddalus nomor musim gugur tahun 2000. Wikan mencatat bagaimana beratnya posisi Nadia: di mata ayah dan ibunya, dalam pandangan masyarakat Maroko, ia berkhianat. Ia menyebabkan orang tua kandungnya, yang melahirkan dan membesarkannya, dihukum. Hakim memang menentukan bahwa ayah dan ibu itu telah melakukan tindak pidana. Tapi tak ada hukuman 15 tahun penjara. Tak ada yang dipenjara. Sang bapak dihukum 15 bulan dengan masa percobaan dan membayar denda dan ongkos perkara. Sang ibu setahun. Wikan, yang jadi saksi, yang tahu bahwa Nadia telah berbicara sebenarnya, menggambarkan kepada mahkamah apa akibatnya bagi Nadia dan keluarga itu bila ayah, dan apalagi ibunya, dikurung. Nadia akan dikutuk beramai-ramai, bahkan oleh teman-temannya sendiri. Rekonsiliasi antara si anak dan bapak-ibunya akan mustahil. Hakim tampaknya mendengar. Vonisnya mengandung sikap berhati-hati. Namun, enam bulan setelah itu, ayah Nadia meninggal kena serangan jantung. Tak urung, inilah yang tercatat: sebuah benturan. Apa yang menurut mahkamah dianggap bersalahdan dengan demikian mahkamah menentukannya bagi siapa saja yang hidup di Norwegiabentrok dengan apa yang menurut adat dan keyakinan orang tua asal Maroko itu benar. Sebab, mereka menganggap hak merekalah, juga tugas mereka, untuk memaksa Nadia mengikuti jalan yang mereka tunjukkan. Ketua Majelis Umat Islam Norwegia, Mohammed Bouras, bahkan mengatakan keputusan hakim itu "sebuah penghinaan bagi semua orang muslim". Apa yang terjadi sebenarnya: pemaksaan nilai-nilai "Barat" terhadap sebuah kelompok minoritas di sebuah negara Eropa yang sekuler? Ataukah sebuah langkah untuk melindungi seorang perempuan yang terancam? Mana yang lebih penting: umat, atau orang seorang? Keadilan itu rumit. Wajahnya sering tersembunyi. Kecuali barangkali ketika kita tahu bahwa Tuhan, atau rasa paling sakit, ada di pihak yang paling tak berdaya. Goenawan Mohamad