TEMPO.CO, Jakarta - Lury Sofyan, Alumnus GSPAS-Waseda University, Tokyo, Jepang
Pada akhir Oktober 2014, 51 negara menyepakati Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) untuk mengimplementasikan standardisasi pertukaran informasi terkait dengan perpajakan. MCAA bersepakat untuk memberikan informasi finansial (financial information) secara otomatis, meliputi informasi bunga, dividen, pendapatan asuransi dan pendapatan sejenis, serta informasi dari account balances dan pendapatan dari aset finansial lainnya ke otoritas pajak di negara terkait. MCAA menjadi pertanda konkret adanya pergeseran paradigma dalam menerapkan transparansi di lembaga keuangan menuju era baru kerahasiaan finansial (financial secrecy).
Privasi finansial dalam bentuk financial secrecy sudah dipraktekkan sejak zaman Hammurabi dan sudah menjadi praktek yang umum yang mendasari hubungan antara bank dan nasabah (bank-client relationship) selama berabad-abad.
Praktek financial secrecy di negara maju, seperti di Eropa, dibutuhkan untuk meningkatkan savings rate untuk membiayai Revolusi Industri. Financial secrecy menjadi magnet yang kuat untuk menarik savings, sehingga dapat bersembunyi dari radar otoritas perpajakan dan penegak hukum lainnya.
Kondisi perekonomian di dunia sekarang ini sudah sangat jauh berbeda. Keberadaan financial secrecy banyak dipertanyakan berbagai ahli karena akan menstimulus moral hazard untuk melakukan tax evasion, money laundering, dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Dewasa ini, tingkat integrasi ekonomi sudah sangat tinggi, sehingga agen ekonomi (economics agent) jauh lebih mudah untuk memindahkan faktor produksi dari satu negara ke negara lain. Hadirnya Internet menambah kompleksitas transaksi ekonomi, sehingga sulit untuk mengetahui pihak yang mendapat keuntungan.
Rekayasa keuangan pun berperan melakukan penghindaran pajak, sehingga banyak negara dirugikan karena adanya BEPS (Base Erosion & Profit Shifting). Kehadiran financial secrecy pada era sekarang ini seperti membungkus transaksi ekonomi yang sudah kompleks itu ke dalam sebuah blackbox, sehingga semakin sulit untuk ditelusuri.
Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih memegang teguh praktek financial secrecy. Bahkan Indonesia masih meyakini bahwa financial secrecy juga berlaku untuk kepentingan perpajakan. Indonesia masih belum menyadari bahwa perspektif kuno dalam memandang suatu financial secrecy justru akan berimplikasi buruk terhadap ekonomi. Penyalahgunaan kerahasiaan finansial (abuse of financial secrecy) merusak sistem sosial, ekonomi, dan politik karena financial secrecy yang kebablasan akan menyuburkan praktek korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang.
Di Indonesia sendiri, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup signifikan (rata-rata tahun 2009 s.d. 2013 adalah 5,8 persen), kesenjangan ekonomi dalam satu dekade terakhir semakin lebar (0,31 pada 2003 dan 0,41 pada 2013). Kue pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati golongan kaya dan fungsi pajak telah gagal meredistribusi penghasilan. Rasio pajak tidak banyak bergeser di kisaran 12 persen saja dan selama financial secrecy tetap diagungkan, mustahil mencapai rasio pajak yang optimal karena porsi terbesar dalam transaksi ekonomi melibatkan lembaga keuangan.
Data Bank Indonesia per September 2014 menunjukkan bahwa sirkulasi uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp 4,009 triliun. Sembilan puluh persen dari jumlah tersebut tersimpan dalam lembaga keuangan (simpanan giro rupiah dan uang kuasi) dan sisanya, hanya sebesar 10 persen, adalah uang beredar di luar bank umum dan BPR.
Otoritas pajak di Indonesia hanya diperbolehkan mendapatkan informasi finansial dalam hal pemeriksaan (buka rekening) dan penagihan pajak (pemblokiran). Itu pun dilakukan dengan proses yang sangat lama, melibatkan unit operasional serta izin Menteri Keuangan dan Dewan Komisaris OJK. Akibatnya, untuk membuka rekening satu wajib pajak saja, diperlukan birokrasi yang rumit dan waktu berbulan-bulan. Sementara otoritas pajak Indonesia mengemis untuk memperoleh informasi finansial dari institusi finansial domestik, negara-negara lain sudah berlari kencang bertukar informasi finansial secara otomatis lintas negara.
Beberapa ahli ekonomi yang kontra berpendapat bahwa, dengan merelaksasi praktek kerahasiaan finansial kepada otoritas pajak, akan merusak stabilitas moneter, karena akan terjadi penarikan dana ke luar negeri (capital flight). Beberapa dekade sebelumnya, argumen seperti ini valid.
Namun konsensus internasional yang sekarang sudah berjalan dan terus bergulir adalah menuju ke keterbukaan informasi finansial. Negara-negara yang tetap bertahan memegang teguh praktek financial secrecy ke depannya justru akan dikucilkan, karena mendukung kegiatan ilegal, baik itu korupsi, penggelapan pajak, maupun pencucian uang.
Untuk Indonesia sendiri, memelihara uang haram (blood money) di dalam lembaga keuangannya akan sangat berisiko, karena biasanya dana seperti itu memiliki volatilitas yang tinggi dan penuh dengan spekulasi.