TEMPO.CO, Jakarta - Asvi Warman Adam, Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto University
Persoalan terbesar yang dihadapi perpolitikan nasional dewasa ini adalah menyelamatkan muka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Polri didukung oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Kalau calon yang diajukan oleh pemimpin partai pemenang pemilu yang juga mengusung Presiden Joko Widodo sampai ditolak atau dibatalkan, bukankah itu mencoreng muka Megawati?
Sudah mengetahui bahwa Budi Gunawan yang mantan ajudan Presiden Megawati diusulkan oleh PDI Perjuangan dan sudah diajukan ke DPR serta disetujui, kok KPK menetapkannya sebagai tersangka. Kenapa tidak jauh sebelumnya? Bukankah itu mencoreng wibawa sebuah partai pemenang pemilu? Apakah ada di antara pimpinan KPK yang mau balas dendam karena tidak menjadi calon wakil presiden?
Masalah muka yang tercoreng itu akan menjadi lebih ramai lagi bila di kalangan politikus banyak yang mengeluarkan berbagai pernyataan yang mungkin untuk "mengambil hati" pimpinannya. Suasana politik menjadi riuh rendah. Muncullah pernyataan yang tidak jelas (dari "rakyat yang tidak jelas" sampai "Buya yang tidak jelas"). Bahkan ada yang memikirkan membentuk panitia khusus bocornya percakapan Presiden Jokowi dengan Syafii Maarif.
Masalah menyelamatkan muka itu mengemuka pada era reformasi, tidak demikian halnya pada zaman Orde Baru. Pada masa pemerintahan Soeharto yang sangat kuat itu, kebanyakan pejabat tinggi tidak peduli dengan urusan menyelamatkan muka, bahkan banyak yang bermuka dua atau lebih.
Dalam perjalanan dengan pesawat dari Dili ke Jakarta sehabis seminar yang dilakukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste pada 2008, saya mendengar sebuah istilah penting yang dikemukakan seorang diplomat senior, yakni saving face (menyelamatkan muka).
Komisi Kebenaran dan Persahabatan itu dibentuk untuk menyelamatkan muka Indonesia. Timor Leste telah menyelesaikan laporan CAVR yang mengungkap pelanggaran HAM di sana secara rinci sejak 1975 sampai 1998. Tetapi kemudian ada rencana mengadili para jenderal Indonesia yang terlibat di Timor Timur. Bahkan Jenderal Sutiyoso ketika berada di Australia sempat akan diperiksa mengenai terbunuhnya wartawan Australia semasa di Timor Timur. Ke mana wajah Indonesia akan disurukkan kalau itu terjadi?
Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang memeriksa tiga kasus (pembunuhan di Gereja Liquiça, perusakan rumah Manuel Carrascalão, dan Santa Cruz) memang mengakui terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur dan menyebutkan instansi yang bertanggung jawab atas tiga kasus tersebut, tapi tidak menuntut para pelakunya secara individu ke pengadilan HAM ad hoc. Dengan demikian, wajah Indonesia tidak begitu tercemar.
Jokowi jelas tidak akan mengkhianati partai yang mendukungnya menjadi presiden. Jokowi sangat menghormati Megawati, yang dianggapnya sebagai "ibu ideologis". Namun, di sisi lain, ia sebagai mandataris rakyat juga harus mendengarkan suara mereka, vox populi, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan). Dengan mengombinasikan ketiga variabel ini pada hierarki yang tepat, saya kira tidak ada muka yang tercoreng, semua terselamatkan. Marilah kita mengingat nasihat orang-orang tua yang sudah mewanti-wanti sejak dulu, jangan sampai "buruk muka cermin dibelah".