TEMPO.CO, Jakarta - Firoz Gaffar, Chairman Figa Institute of Law and Economics (FILE)
Apa warna hukum? Bisa merah, kuning, hijau, atau lainnya. Maksudnya, kinerja hakim dalam penegakan hukum bisa colorful. Publik di Indonesia saat ini tegang menunggu beleid dan vonis dari pemegang kekuasaan formal, yakni eksekutif dan yudikatif, dalam kasus calon Kepala Polri.
Di satu sisi, Presiden baru melantik atau tidak Budi Gunawan sebagai orang nomor satu kepolisian hanya bila pengadilan sudah memutus permintaan praperadilan. Di sisi lain, hakim menilai keabsahan prosedur pada tahap penyidikan atau penuntutan-sesuai dengan nama "praperadilan"-sebelum substansi perkara diperiksa nantinya.
Banyak aspek yang bisa diuji di sini, yakni wewenang komisioner KPK yang tidak lengkap dalam penetapan tersangka, status Budi Gunawan saat perkara sebagai penyelenggara negara atau penegak hukum, dan sebagainya. Salah satu yang signifikan adalah pengujian obyek praperadilan menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 82, dan Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam hal ini, kita bisa menyorot masalah ini dari perspektif teori hukum. Spektrum tinjauan beragam, dari ekstrem kiri sampai ekstrem kanan, tradisional sampai pasca-modern, dan stabilitas sampai perubahan persepsi. Teori akan menunjukkan pijakan bagi decision maker dan menjernihkan gambaran buat masyarakat atas perkara. Dari sekian banyak aliran, barangkali ada dua pandangan yang sudah panjang umurnya, universal berlakunya, dan berseberangan duduknya, yang patut ditimbang.
Teori pertama adalah positivisme. Hukum dalam ajaran ini dideskripsikan berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Pelopor aliran ini, John Austin, berkata, "Inti dari yurisprudensi adalah hukum positif: hukum yang secara sederhana dan ketat, atau hukum yang secara politik diberlakukan kelompok yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah." (The Province of Jurisprudence Determined, 1832).
Ada dua kesimpulan. Pertama, hukum yang secara sederhana dan ketat disebut hukum adalah "hukum yang ada" (law as it is) yang mutlak dibedakan dengan "hukum yang seharusnya" (law as it ought to be). Kedua, kebenaran hukum hanya ditentukan oleh "otoritas politik". Hikmahnya bahwa hukum dipisahkan dari parameter moral, agama, etika, atau apa pun yang bersifat non-yuridis. Tidak ada relasi hukum dengan kebaikan atau keburukan. Selama hukum sudah ditentukan penguasa yang sah, berlakulah hukum.
KUHAP menyebutkan obyek praperadilan, yaitu validitas empat perbuatan hukum, yakni penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta permintaan rehabilitasi pihak yang perkaranya dihentikan. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka secara eksplisit tidak termasuk di dalam kategori "hukum yang ada". Selain itu, KUHAP adalah produk hukum yang secara sah dilahirkan oleh presiden dan DPR sebagai "otoritas politik" yang sah. Dengan kacamata kuda positivisme, hakim dengan mudah menolak permintaan praperadilan. Tapi ternyata hakim mengabulkan permohonan.
Teori kedua adalah realisme. Tidak seperti ajaran positivisme, hukum menurut aliran realisme adalah kenyataan hidup. Terdapat dua konklusi. Pertama, "hukum tidak logis" atau tidak dapat ditemukan melalui pola pikir silogisme, melainkan berdasarkan pengalaman. Kedua, "efek fenomena non-yudisial" seperti moral, politik, intuisi, pengakuan, prasangka, adalah faktor yang mempengaruhi eksistensi hukum. Pelajarannya, hukum tidak asosial, melainkan kental berinteraksi dengan wacana publik. Dalam bahasa lain, hukum tidak lagi independen dan super, bila bertentangan dengan misi berbangsa dan bernegara.
Dalam kenyataannya, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka berada dalam rentetan waktu yang berdekatan dengan pencalonan dirinya menjadi Kepala Polri. Setelah dicalonkan Kompolnas ke Presiden dan selanjutnya diajukan Presiden ke DPR, beliau ditetapkan sebagai tersangka. Padahal DPR telah menyetujui dan berikutnya Presiden tinggal melantik. Karena "hukum tidak logis", tahap demi tahap proses ketatanegaraan tersebut tidak kebal terhadap koreksi menurut nilai yang hidup.
Di samping itu, tuntutan integritas pejabat, ancaman kompleksitas politik nasional, keyakinan diri hakim, kesadaran pribadi Budi Gunawan, prasangka negatif publik, menjadi "efek fenomena non-yudisial" yang mewarnai vonis. Dengan teropong lebar realisme, hakim seyogianya menolak permohonan praperadilan. Namun hakim ternyata menerima gugatan.
Hakikat praperadilan adalah proses cepat dan sederhana. Cukuplah alas vonis ialah positivisme atau realisme. Vonis hakim telah jatuh: menerima gugatan praperadilan dengan mengesampingkan kedua teori. Baik dari sisi keilmuan ataupun sisi kebangsaan, teori dibuat mandul. Penguasa-termasuk hakim-mestinya bertugas mensejahterakan, bukan menyengsarakan masyarakatnya. "Tugas gembala yang baik adalah mencukur ternaknya, bukan mengulitinya" (Boni pastoris est tondere pecus, non deglubere).