Bank Indonesia mesti mengantisipasi dampak buruk dari rilis situs web TheRichest yang memasukkan rupiah sebagai mata uang tidak berharga di dunia. Situs itu membandingkan 180 mata uang yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dolar Amerika. Hasilnya, rupiah hanya lebih kuat dari rial (Iran), dong (Vietnam), dan dobra (Sao Tome).
Sikap BI, yang tugas utamanya menjaga nilai tukar, baik terhadap mata uang lain maupun barang, sangat penting karena rilis TheRichest sudah tersebar luas. Kabar tersebut berpotensi meningkatkan ketidakpercayaan terhadap mata uang kita. Situasi ini sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan rupiah kian tertekan.
Dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah terus melemah. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, nilai tukar rupiah anjlok 117 poin (0,95 persen) ke level 12.467 per dolar Amerika. Rupiah sudah mendekati level terendah dalam enam tahun terakhir. Penurunan harga minyak dunia dan ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada tahun depan menjadi faktor utama pelemahan rupiah.
Tentu saja tak mungkin Indonesia bisa mengatasi persoalan eksternal. Yang bisa dilakukan adalah menciptakan suasana kondusif yang bisa menggiring pada penguatan rupiah, terutama pada sisi suplai dan permintaan dolar Amerika. Masalahnya, suplai dolar kian terbatas karena ekspor kita juga terus menurun. Ekspor selama 10 bulan pertama tahun ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pengendalian sisi permintaan juga sulit dilakukan. Impor migas kita naik terus selama tiga tahun terakhir. Tahun lalu, kita membelanjakan Rp 540 triliun untuk minyak mentah dan bahan bakar minyak, sedangkan impor migas selama 10 bulan tahun ini sudah mencapai Rp 440 triliun. Neraca migas juga selalu defisit. Hal itu mengakibatkan surplus dari neraca nonmigas tergerus habis.
Utang luar negeri juga cenderung meningkat. Per Juni lalu, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 284,9 miliar, naik 3 persen dibanding pada triwulan sebelumnya. Peningkatan terbesar terjadi di swasta, yang utangnya naik dari US$ 145,7 miliar menjadi US$ 153,2 miliar. Dampaknya adalah pembayaran pokok dan cicilan juga naik.
Dengan posisi seperti itu, BI jelas tak mungkin sendirian mengatasi pelemahan rupiah. Karena itulah, pemerintah bisa mengambil peran lebih besar untuk membantu BI. Indonesia bisa menarik dolar lebih banyak melalui investasi langsung (Foreign Direct Investment). Selain memasukkan dolar, investasi langsung akan mendorong perekonomian, termasuk membuka lapangan kerja.
Syaratnya adalah memperbaiki iklim investasi. The Economist pernah menulis, masalah utama ekonomi Indonesia adalah pemerintahan yang birokratis, korup, dan infrastruktur yang miskin. Hampir tak mungkin pemerintah Joko Widodo mampu menarik investasi besar-besaran tanpa menyelesaikan tiga soal itu. Pemerintah harus ikut membantu BI mengatasi masalah rupiah yang kian "tak berharga" ini.