Tak ada yang salah memang dengan terpilihnya kembali Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia dari sisi legalitas. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PMI tak dilanggar. Pemilihan juga berlangsung demokratis. Perwakilan provinsi dan daerah yang berhak memberikan suara telah memilih. Hanya, pemilihan itu mengandung dua cacat: kepatuhan dan etik.
Pemilihan, misalnya, dinilai tak mematuhi statuta Palang Merah Internasional (ICRC), yang menjadi rujukan PMI. Delegasi Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Merah telah menyampaikan keberatan ihwal penyimpangan statuta itu secara tertulis kepada panitia Musyawarah Nasional PMI. Mereka menyebutkan ada prinsip netralitas dan kemandirian yang tak dipatuhi.
Dalam dua statuta itu dinyatakan Palang Merah merupakan organisasi kemanusiaan yang bersifat independen. Sekalipun mendukung kebijakan pemerintah di bidang kemanusiaan, organisasi harus mempertahankan otonominya dan tak berpihak. PMI periode 2014-2019, yang mengangkat pejabat pemerintah sebagai ketua umum, dinilai secara jelas telah melanggar prinsip dasar Palang Merah Internasional itu.
Kalla adalah pejabat pemerintah, di level tertinggi malah. Ia menang voting atas Siti Hediyati atau Titiek Soeharto dengan 247 suara melawan 170 suara. Voting diikuti 418 peserta munas. Dengan terpilihnya Kalla, Indonesia menjadi satu-satunya negara dari 189 negara Federasi Palang Merah Internasional yang organisasinya dipimpin pejabat aktif.
Kalla memang dinilai telah berhasil memimpin PMI. Ia, misalnya, pernah dipuji ketika dengan cepat menggerakkan relawan menangani korban bencana letusan Gunung Merapi, Yogyakarta. PMI di bawah dia juga berhasil memperbarui peralatan modern, seperti helikopter, bus donor darah, mobil tahan api yang dengan cepat menembus kawasan bencana, juga rumah sakit dengan fasilitas perawatan yang lengkap.
Seluruh prestasi itu tak serta-merta membuat ia perlu didorong memimpin PMI kembali. Hal yang harus dikhawatirkan justru sebaliknya: PMI akan bergantung pada Kalla. Sebagai wakil presiden, ia jelas punya kekuasaan yang besar dalam mengatur kebijakan-kebijakan yang menguntungkan PMI, misalnya. Atau sebaliknya, justru menghalangi independensi PMI. Konflik kepentingan semacam itu, tak terelakkan, pasti akan muncul suatu saat kelak. Ini jelas tak sehat buat kemajuan gerakan kemanusiaan tersebut.
Sekalipun diperbolehkan AD/ART, majunya Kalla juga tak etis. Sebagai wakil presiden, apa masih perlu ia merangkap jabatan? Motif Kalla patut dipertanyakan, mengingat ia sebelumnya sudah berniat mundur dari posisi Ketua PMI. Jika memang hanya untuk menghadang Titiek Soeharto, ia justru bisa dinilai telah menjerumuskan PMI ke ajang perebutan pengaruh politik, sesuatu yang jelas diharamkan oleh Federasi Palang Merah Internasional.
Titiek, menurut statuta Palang Merah Internasional, juga tak layak memimpin PMI. Ia masih menjabat Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Pejabat pemerintah atau fungsionaris partai politik bisa menggiring organisasi kemanusiaan itu keluar dari prinsip-prinsip dasarnya yang menjunjung tinggi kemanusiaan, kesukarelawanan, ketidakberpihakan, kenetralan, dan kemandirian.
Bukan Kalla, bukan Titiek. Masih banyak orang lain yang berpengalaman memimpin organisasi-seperti disyaratkan AD/ART-juga mampu, cakap, dan netral, yang bisa memimpin organisasi independen ini.