TEMPO.CO, Jakarta - Purnawan Andra, staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud; tulisan pribadi
Kita mengenal "kayon", lambang gunung atau hutan dalam pewayangan itu. Ada yang melukiskan bahwa di dalamnya tergambar pohon-pohon rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi menyembul dalam ukiran yang renik. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci berbentuk teratai: sesuatu yang teduh. Di kerimbunan yang agung itu hidup sebuah wilayah kehidupan yang lain, yang berlangsung anteng dan syahdu.
Gambaran semacam itu membuat kita membayangkan Indonesia. Zamrud khatulistiwa ini begitu indah, subur, dan kaya. Ia adalah tanah surga di mana "Tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Ikan dan udang pun akan menghampiri".
Namun di dalam kayon juga ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada harimau, banteng, kera, burung merak, dan burung-burung lain. Juga wajah seram banaspati-seperti memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak henti di luarnya.
Hal ini juga tak jauh berbeda dengan kondisi negara kita saat ini. Panggung negara penuh dengan drama politik, intrik, dan perang kepentingan yang tiada henti. Pemainnya adalah para politikus yang menampilkan citraan lengkap dengan tampilan, juga lewat kata dan bahasa.
Kita mengenal banyak istilah yang kerap dilekatkan pada tingkah laku negatif para politikus. Cap dilekatkan pada mereka sebagai musang berbulu domba, (muka) badak, tikus-tikus (kantor). Sebelumnya juga pernah ada "simbolisme kerbau" yang terlibat dalam demonstrasi atas kepemimpinan yang dianggap tambun, lamban, dan tak cekatan. Panggung politik kita bahkan diramaikan dengan konflik cicak melawan buaya hingga beberapa jilid. Politik Indonesia penuh dengan simbolisme dan metafora.
Politik kita adalah politik margasatwa. Indonesia seperti hutan belantara yang penuh ancaman karena yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Indonesia seperti tengah mengalami masa kritis regulasi dan penegakan hukum serta keteraturan sosial kenegaraan.
Pada saat semacam ini pula, dalam pentas wayang kulit, seorang dalang memainkan kayon untuk menandai peristiwa penting. Kayon bergerak dinamis sedemikian rupa untuk menggambarkan kegelisahan alam: hujan badai, angin ribut, ataupun gelegar halilintar. Kayon dimainkan saat ada kehidupan yang bertentangan dengan kehidupan manusia, keadaan yang tak henti-hentinya berubah dan resah. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip…. Manusia tengah menghadapi sebuah peristiwa kemanusiaan yang dramatis.
Namun kayon juga dimainkan saat sebuah keajaiban atau peristiwa penting terjadi, seperti saat seorang kesatria berubah menjadi makhluk yang dahsyat. Dalam dramatika cerita wayang, jika hal itu terjadi,kita bisa berharap babak akhir penyelesaian cerita akan segera tiba. Kayon yang bergerak dinamis untuk menandai pergantian babak, adegan, ataupun cerita menggambarkan siklus hidup kembali stabil dan seimbang.
Maka, sebagai penonton panggung wayang politik di negara ini, kita berharap agar seluruh drama dalam pemerintahan ini dimainkan dengan cantik, elegan, dan berujung happy ending.