TEMPO.CO, Jakarta - Munawir Aziz, alumnus pascasarjana UGM Yogyakarta
Bagi orang Tionghoa, perayaan Imlek tahun ini menjadi momentum penting. Tidak hanya menggambarkan betapa kontribusi orang Tionghoa mulai diakui secara resmi di ruang publik, yang menandai eksistensi etnis ini pasca-reformasi. Tampilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta menjadi catatan penting bahwa orang Tionghoa mampu menjadi pemimpin politik yang memiliki power, berani, dan tegas.
Apa yang dikerjakan Ahok menjadi pertaruhan bagi kontribusi orang Tionghoa di negeri ini. Meski tidak dapat menjadi klaim mayoritas, tampilnya Ahok sebagai pemimpin-bukan sekadar penguasa-memberi tanda seru bagi kohesi sosial orang Tionghoa. Jika dalam periode kepemimpinan ini Ahok mampu memberikan kontribusi berharga bagi warga Jakarta, sebagai representasi kota strategis di Indonesia, tentu saja hal itu akan memberikan citra positif bagi eksistensi orang Tionghoa di ruang publik.
Sementara pada masa Orde Baru orang Tionghoa hanya menjadi sapi perah ekonomi dan kambing hitam politik penguasa, pada masa reformasi orang Tionghoa berangsur merambah pelbagai bidang yang sebelumnya dianggap tabu. Sekarang ini, banyak dikenal orang Tionghoa berkarya di bidang kesehatan, militer, pendidikan, pers, hingga kebudayaan.
Terbukanya ruang sosial bagi orang Tionghoa tak lepas dari peran Gus Dur. Pada masa Soeharto, warga Tionghoa tidak boleh menampakkan ekspresi kultural dan religiusnya di panggung publik. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14Tahun 1967, yang menjadi produk hukum rezim Orde Baru, melarang segala hal yang dekat dengan aroma Tionghoa. Kondisi tragis pada Mei 1998 merupakan simbol represi Orde Baru di bawah kendali Soeharto, yang membawa korban bagi orang Tionghoa yang meninggal serta kehilangan harta benda dan akses ekonomi.
Ketika Gus Durmenjabat presiden, ia mencabut Inpres No. 14/1967, lalu menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19/2001 tertanggal 9 April 2001, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Barulah pada era kepemimpinan Presiden Megawati, mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Kebijakan politik dan komunikasi kultural yang dilakukan oleh Gus Dur sangat terasa dampaknya bagi orang Tionghoa di Indonesia. Hal ini juga pernah dialami Ahok ketika hendak maju sebagai Bupati Belitung Timur. Saat itu Ahok terganjal oleh kampanye negatif berbau etnis dan juga ganjalan hukum lainnya. Gus Dur mendampingi Ahok dan berkampanye untuknya, ini menandakan bahwa Gus Dur konsisten dalam membela kaum minoritas. Dari momen ini, Ahok mengaku sangat berutang budi kepada Gus Dur.
Dalam perayaan Imlek pada Tahun Kambing Kayu ini juga terasa benar ingatan kepada Gus Dur. Kontribusi, kebijakan, dan perhatian Gus Dur kepada orang Tionghoa dan minoritas yang lain melintasi ruang dan waktu. Imlek tahun ini juga menjadi ujian bagi orang Tionghoa yang sudah masuk di ruang sosial-politik untuk menguatkan kohesi sosial antarsesama.
Saatnya menagih janji Ahok untuk konsisten meneladan Gus Dur dengan membela hak-hak rakyat dan kemaslahatan bangsa. Momentum Imlek menjadi refleksi kemanusiaan dan kebangsaan bagi kita semua.