TEMPO.CO, Jakarta - Chandra Budi, Bekerja di Ditjen Pajak
Selepas diterbitkannya Peraturan Dirjen Pajak Nomor 01 Tahun 2015, yang pada intinya mewajibkan pihak bank selaku pemotong pajak penghasilan (PPh) untuk melampirkan daftar bukti pemotongan atas PPh final bunga deposito, tabungan, diskonto SBI dan jasa giro, muncul banyak penolakan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun penerimaan pajak seharusnya tidak berbenturan dengan kewajiban bank dalam menjaga rahasia bank. Praktisi perbankan bahkan khawatir beleid ini akan memicu penarikan deposito secara besar-besaran di sejumlah bank, termasuk kemungkinan pengalihan modal ke luar negeri (capital flight). Sebenarnya, kebijakan ini tidak bertentangan sama sekali dengan pasal kerahasiaan bank.
Rahasia bank didefinisikan sebagai kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal tertentu, termasuk untuk kepentingan perpajakan. Agar dapat mengakses data nasabah bank, diperlukan instruksi tertulis dari pimpinan OJK kepada bank yang bersangkutan setelah sebelumnya mendapatkan permintaan dari Menteri Keuangan.
Sayangnya, dalam Undang-Undang Perpajakan, permintaan tertulis dari Menteri Keuangan kepada pimpinan OJK hanya bisa dilakukan pada tahapan pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan pajak. Artinya, akses perpajakan ke nasabah bank sangat sulit karena akan menempuh perjalanan panjang dan berliku. Akibatnya, selama ini, data nasabah bank yang dimanfaatkan untuk kepentingan pajak sangat minim.
Sementara itu, pasokan data eksternal berkualitas mutlak diperlukan Ditjen Pajak untuk mencapai target pajak 2015 ini. Untuk itu, salah satu strategi yang ditempuh Ditjen Pajak tahun ini adalah memperbaiki regulasi untuk memperluas basis pajak. Untuk itu, sejak awal tahun telah diterbitkan aturan perpajakan berupa perluasan obyek pajak penghasilan (PPh) untuk barang sangat mewah. Hal ini dilanjutkan dengan penerbitan aturan tentang bentuk dan lampiran surat pemberitahuan (SPT) PPh final atas tabungan dan deposito.
Secara legal, aturan ini merupakan amanat langsung dari Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 243 Tahun 2014. Apabila ditelusuri lebih lanjut, PMK 243 Tahun 2014 juga merupakan amanat dari Pasal 3 ayat (6) UU Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jadi, jelas secara legal, terbitnya peraturan Dirjen Pajak tersebut sangat kuat karena merupakan perintah langsung dari UU.
Selama ini, terjadi kondisi yang anomali. Orang kaya Indonesia dengan pertumbuhan kelas menengah yang signifikan tidak sejalan dengan kontribusi terhadap penerimaan pajak. Salah satu bank nasional bahkan menyatakan memiliki lebih dari 20 ribu nasabah dengan simpanan di atas Rp 1 miliar. Mereka ini belum dapat diuji apakah sudah membayar pajak dengan benar atau belum.
Saat ini adalah era keterbukaan informasi dalam industri keuangan. Negara-negara lain bahkan sudah membuka akses nasabah bank seluas-luasnya kepada otoritas pajaknya. Jangan sampai, dengan terus berlindung pada pasal rahasia bank, Indonesia sebenarnya melindungi para pengemplang pajak secara sadar dan sengaja.