Presiden Joko Widodo menginginkan Indonesia harus sudah berswasembada beras dalam waktu tiga tahun. Ia bahkan akan memecat Menteri Pertanian Amran Sulaiman bila tidak mencapai target itu. Keinginan ini tak ada salahnya, tapi pemerintah mesti menyiapkan sungguh-sungguh sarana dan prasarana pendukung program yang ambisius itu.
Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada 1984. Tapi setelah itu banyak infrastruktur pertanian, seperti irigasi dan waduk, yang dibiarkan rusak. Faktor pendukung lain, seperti pasokan benih dan pupuk, juga tidak dijamin. Penambahan sawah baru hampir tak ada. Kalaupun ada pencetakan sawah baru, jumlahnya jauh lebih kecil dibanding sawah yang berubah menjadi perumahan atau kawasan industri.
Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tak mampu membereskan semua masalah itu, sehingga program swasembada beras pada 2014 gagal. Pengadaan pupuk dan benih murah untuk membantu petani justru menjadi ladang korupsi. Pemerintah juga tak berhasil membenahi irigasi, sehingga ongkos produksi pertanian amat tinggi dan kurang menarik dari hitungan bisnis.
Mungkin, kelebihan pemerintah kali ini terutama dalam hal semangat, karena swasembada beras termasuk program kunci pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam kampanye pemilihan presiden lalu. Setelah menghapus sebagian subsidi bahan bakar minyak, pemerintah juga mempunyai ruang fiskal untuk mendanai proyek infrastruktur, termasuk pembangunan waduk dan irigasi.
Perbedaan situasi itu membuat impian Jokowi bukan tidak mungkin bisa terwujud. Menteri Amran Sulaiman menghitung, untuk mencapai swasembada beras, produksi padi nasional harus mencapai 73 juta ton per tahun. Menurut Badan Pusat Statistik, produksi padi pada 2014 mencapai 69,9 juta ton gabah, turun 2 persen dari 71,3 juta ton pada 2013.
Hanya, untuk menggenjot produksi padi, tetap diperlukan perencanaan yang matang. Infrastruktur pertanian, seperti waduk dan irigasi, harus dibangun sejak sekarang agar segera bisa dipetik hasilnya pada tahun kedua dan ketiga. Begitu pula penyediaan lahan padi yang lebih luas dengan menciptakan sawah-sawah baru. Syukur bila program reformasi agraria bisa mulai dirintis agar para petani memiliki sawah yang lebih luas sehingga lebih efisien.
Selama ini lahan pertanian kita tidak pernah bertambah. Justru sawah-sawah subur diuruk dan ditanami beton, sehingga berubah fungsi menjadi perumahan atau pabrik. Infrastruktur irigasi kita mengalami kerusakan sekitar 52 persen dan tidak pernah diperbaiki lagi sejak 50 tahun silam. Inovasi teknologi produksi pertanian juga tidak berkembang karena anggaran riset sangat terbatas.
Bila semua masalah penting itu bisa diatasi pada tahun pertama, niscaya swasembada beras bisa berhasil. Pengadaan pupuk dan bibit, kendati bukan persoalan yang mudah, tidak memerlukan waktu lama untuk membenahi. Lain halnya dengan mencetak sawah dan membangun waduk, yang memerlukan waktu lebih lama.