Perang terhadap mafia narkotik amat sering digaungkan, tapi hasilnya masih jauh dari harapan. Meski sudah banyak bandar yang dijebloskan ke bui, peredaran barang haram ini malah makin merajalela. Aparat keamanan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) seperti kewalahan menghadapi para bandit candu.
Berita-berita seperti penggerebekan penyelundup sabu-sabu sebanyak 800 kilogram, penangkapan musikus Fariz Rustam Munaf, penangkapan dua polisi Indonesia di Malaysia, serta terjeratnya profesor Universitas Hasanuddin menjadi "sarapan" kita hampir saban pekan. Indonesia menjadi surga peredaran narkotik. Saat ini ada empat juta orang pengguna narkotik.
Di mata khalayak, penggerebekan yang dilakukan aparat sering kali terkesan seperti sebuah formalitas belaka. Mereka cuma sibuk menangkapi para pengedar kelas teri atau pengguna biasa seperti Fariz, namun membiarkan para godfather narkotik melenggang. Fariz dicokok polisi di kediamannya, dan saat itu ia sedang sendirian. Polisi menjerat Fariz lantaran pemilikan ganja, heroin, dan penguasaan narkotik.
Dapat dipahami jika polisi mengincar Fariz, mengingat dia merupakan tokoh publik yang perilakunya bisa saja mempengaruhi para penggemar. Apalagi, pada 2007, dia juga sudah pernah tertangkap karena narkotik. Tapi seyogianya aparat tetap membuka kemungkinan mengesampingkan pendekatan pidana jika memang terbukti dia hanya pengguna. Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan, pecandu narkotik yang telah cukup umur dan tengah menjalani rehabilitasi medis di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk pemerintah tidak dituntut pidana.
Memenjarakan para pengguna narkoba bukanlah pilihan terbaik karena, di hotel prodeo, justru kian terbuka pergaulan para korban itu dengan produsen dan pengedar yang ada di sana. Merehabilitasi korban merupakan salah satu cara memutus mata rantai pasar obat-obatan terkutuk itu.
Dari sekian banyak kabar penggerebekan kelas teri itu, untunglah terbetik kabar pembongkaran sindikat sabu internasional oleh BNN. Lembaga ini menangkap Wong Ching Ping, penyelundup 800 kilogram sabu-sabu lewat Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Seharusnya kepolisian dan BNN memperkuat kerja sama dan memprioritaskan penangkapan penjahat kelas berat seperti Wong Ching Ping, yang diincar oleh tujuh negara. Lawan yang mereka hadapi itu merupakan mafia internasional yang punya seribu akal bulus untuk memasukkan narkotik lewat "pelabuhan-pelabuhan tikus" di pesisir Sumatera dan Kalimantan. Para bandar tersebut juga menancapkan "kukunya" di kalangan aparat.
Sangat disayangkan, aparat keamanan seolah tak punya masterplan untuk menutup jalur itu. Kekurangan tenaga dan peralatan menjadi dalih mereka. Padahal, untuk jangka pendek, mereka bisa bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut. Yang dibutuhkan untuk menumpas habis narkotik hanyalah komitmen pemerintah dan seluruh aparat keamanan, termasuk TNI. Bila pemerintah serius memerangi sindikat narkotik, semestinya mereka memperkuat armada penjaga laut, membersihkan aparat yang terlibat.