Tidak ada alasan yang bisa membenarkan serangan berdarah terhadap redaksi majalah satire Charlie Hebdo di Paris. Dan, siapa pun dapat menangkap: ada yang tak beres, tatkala Kalashnikov dipakai buat membungkam dan mematahkan ketajaman pensil seorang kartunis atau wartawan.
Dua belas nyawa melayang dan empat orang terluka dalam sebuah teror berdarah di kantor majalah itu. Beberapa kartunis terkenal dan pemimpin redaksi Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, termasuk yang tewas. Dunia pun mengutuknya. Berondongan peluru itu jelas merupakan serangan brutal terhadap kebebasan berekspresi dan kemanusiaan.
Sebagian kalangan Islam masih menganggap apa yang selama ini dilakukan majalah Charlie Hebdo sebagai rangkaian provokasi dan ketidaksensitifan terhadap Islam. Charlie Hebdo melalui kartun-kartunnya dinilai mencemooh muslim, Nabi Muhammad, dan terakhir khalifah ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi. Hal ini sebenarnya merupakan gambaran ketidakharmonisan antara Islam dan Barat. Padahal kartun majalah ini juga sering mengkritik politikus, bahkan paus.
Sunni-Syiah, konservatif-liberal, radikal-moderat, hati mereka juga merasa tertusuk oleh kartun serupa yang dimuat harian Denmark, Jyllands-Posten. Ya, garis-garis pemisah itu tiba-tiba menipis, memudar, dan perbedaan yang terbentang berabad-abad menguap-paling tidak ketika menghadapi musuh bersama ini.
Representasi sang musuh adalah karikatur yang mencerminkan wajah Nabi Muhammad. Matanya besar, dan pada sorbannya yang hitam dan bulat tertera kalimah syahadat, tapi itulah penutup kepala yang merangkap bom yang siap mengguncang. Ada 12 kartun yang muncul dengan tema seragam: Muhammad adalah perwujudan teror. Dan, setiap orang pun melihat, perlahan-lahan barisan yang hangus hatinya itu semakin panjang-juga menandakan makin banyak kepentingan yang terlibat.
Dunia Islam, yang terdiri atas orang-orang yang terluka oleh kolonialisme Barat, kini teramat sadar akan posisinya selaku korban. Dan, sebagai korban, mereka merasa berhak mendapatkan perlakuan istimewa.
Sejarah tidak bergerak secara otomatis ke dunia yang lebih sensitif. Peristiwa 11 September 2001, misalnya, malah seakan "mengukuhkan" stereotip yang menyamakan muslim dengan teroris. Dunia internasional belum lagi berubah. Lalu, sekarang, mereka pun menyaksikan sesuatu yang paling ditakutkan: Nabi Muhammad, manusia ideal, makhluk rujukan, pemimpin yang paling dekat di hati umatnya, terperangkap dalam stereotip itu di 12 karikatur Jyllands-Posten, dan terakhir dalam kartun Charlie Hebdo.
Menghadapi dunia yang tak bersahabat ini, sebagian menempuh jalan pintas yang bisa membutakan. Dengan memperkuat akidah dan hijrah, mereka memisahkan diri dari dunia di sekitar yang tak Islami. Dengan tafkir, mana lawan dan mana kawan dipertegas, serta jihad menjadi wajib.
Padahal menggunakan Kalashnikov buat mematahkan ketajaman pensil seorang kartunis atau wartawan berarti membungkam kebebasan berekspresi serta merupakan tindakan yang tak beradab sekaligus menghancurkan kemanusiaan.