Sikap abai Gubernur DKI Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta terhadap ketentuan undang-undang pemerintahan daerah, khususnya ihwal waktu pengesahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, patut disesalkan. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, apalagi berstatus ibu kota negara, tak sepatutnya mereka terlambat mengesahkan Rancangan Perda tentang APBD 2015.
Keterlambatan ini merupakan contoh buruk bagi daerah lain. Maka, merujuk ke Pasal 312 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sanksi administratif berupa tidak dipenuhinya hak-hak keuangan kepala daerah dan DPRD perlu dijatuhkan. Hak-hak keuangan itu meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lain.
Baca Juga:
Boleh saja Gubernur dan DPRD DKI menyatakan tak jadi masalah jika terkena sanksi, karena mereka bisa hidup dari sumber pendapatan lain. Namun, dari segi profesionalisme kerja, sanksi itu menjadi catatan buruk. Adalah mustahil mereka belum membaca atau tidak paham ihwal ketentuan perundangan yang baru. Ketentuan itu menyebutkan, kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama Rancangan Perda tentang APBD paling lambat satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran.
Sanksi penahanan gaji DPRD dan Gubernur DKI selama enam bulan pantas diberikan karena keduanya punya andil dalam keterlambatan itu. Legislatif menyumbang keterlambatan karena baru mengesahkan alat kelengkapan Dewan pada 8 Desember 2014, terlambat dua bulan dari tenggat.
Adapun eksekutif tiga kali mengoreksi Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) yang diserahkan kepada Dewan. Akibatnya, kesepakatan pembahasan RAPBD tertunda lantaran mesti ada pembahasan ulang.
Ketegasan Kementerian Dalam Negeri dalam menjatuhkan sanksi sekaligus merupakan batu ujian pertama undang-undang pemerintahan daerah yang anyar. Sebab, jika menilik praktek selama ini, keterlambatan begini bukan yang pertama di DKI. Sekadar contoh, RAPBD DKI 2013 senilai Rp 49,9 triliun baru disahkan pada 28 Januari 2013. Bedanya, kala itu belum ada aturan tentang sanksi. Walhasil, yang ada sekadar teguran Menteri Dalam Negeri, plus stempel bahwa Gubernur dan DPRD DKI tak taat aturan.
Semestinya, DPRD dan Gubernur DKI memiliki semangat yang sama dengan pemerintah daerah lain. Sanksi administratif memaksa legislatif dan eksekutif di daerah terpacu melakukan pembahasan sehingga RAPBD 2015 bisa disahkan sebelum tenggat. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, hingga masuk Januari, hanya DKI dan Provinsi Aceh yang telat mengesahkan RAPBD.
Jika Kementerian Dalam Negeri benar-benar menjatuhkan sanksi administratif-hal yang dimungkinkan apabila peraturan pemerintah untuk undang-undang pemerintahan rampung dalam waktu dekat-sudah seharusnya ini menjadi pelajaran bagi Gubernur dan DPRD DKI. Mereka harus sadar bahwa keterlambatan pengesahan RAPBD tak sekadar membuat enam bulan gajinya melayang, tapi juga berakibat pada mundurnya pencairan dana program-pogram pembangunan. Yang dirugikan, siapa lagi kalau bukan warga Jakarta.