Presiden Joko Widodo menyia-nyiakan kekuasaannya yang besar buat membenahi penegakan hukum. Setelah gagal memilih Jaksa Agung yang benar-benar berintegritas, kini ia melakukan blunder kedua: memilih Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian RI.
Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu belum lama diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Ia akan menjadi Kepala Polri menggantikan Jenderal Sutarman, bila DPR tidak menolaknya. Sesuai dengan konstitusi, Dewan hanya berkuasa memberikan "persetujuan", dan bukannya "memilih", calon Kepala Polri. Itu sebabnya, Presiden hanya mengusulkan satu calon.
Baca Juga:
Dengan kata lain, Presiden Jokowi sebetulnya memiliki wewenang penuh menentukan Kepala Polri yang sanggup menata kepolisian sekaligus memerangi korupsi. Tugas berat ini hanya bisa diemban oleh figur yang bersih, tegas, dan berintegritas. Apalagi, saat kampanye dulu, Jokowi bersama pasangannya, Jusuf Kalla, jelas menjanjikan "reformasi penegakan hukum yang bebas korupsi". Janji ini terpampang dalam program pertama dari sembilan jargon bernama Nawacita.
Wajar bila banyak orang kini mempertanyakan keputusan Jokowi memilih Budi Gunawan. Ia jelas bukan figur ideal. Budi bahkan memiliki rekening gendut yang mencurigakan seperti yang pernah diungkap majalah Tempo pada 2010. Lonjakan jumlah harta bekas ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengherankan. Pada 2008, ia memiliki kekayaan senilai Rp 4,6 miliar. Lima tahun kemudian, harta yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Komisi meningkat drastis menjadi Rp 22,6 miliar.
Kalaupun tak ada calon yang betul-betul sempurna, Jokowi seharusnya bisa mempertimbangkan kandidat lain yang digodok oleh Komisi Kepolisian Nasional. Sederet jenderal berbintang tiga yang juga dicalonkan itu adalah Badrodin Haiti (Wakil Kepala Polri), Dwi Prayitno (Inspektur Pengawasan Umum), Suhardi Alius (Kepala Badan Reserse Kriminal), dan Putut Eko Bayuseno (Kepala Badan Pemelihara Keamanan).
Jokowi bahkan bisa menyodorkan lebih dulu nama-nama itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk ditelisik. Cara ini ia lakukan ketika memilih para menteri. Sekarang, Jokowi justru terkesan menghindari cara cermat untuk menyeleksi calon Kepala Polri itu. Padahal hal ini sudah disarankan berulang kali oleh kalangan aktivis antikorupsi.
Saran itu juga tidak diindahkan oleh Presiden saat memilih Jaksa Agung M. Prasetyo. Independensi dan integritas figur ini diragukan karena ia sempat menjadi politikus Partai NasDem yang dipimpin Surya Paloh. Kini Jokowi pun terkesan tak bisa menghindari tekanan politik saat memilih Budi Gunawan, yang pernah menjadi ajudan Megawati.
Presiden Jokowi dipilih langsung oleh rakyat dan memegang kekuasaan penuh sesuai dengan konstitusi. Ia semestinya berkukuh memenuhi janjinya dalam kampanye dan bukan tunduk kepada kepentingan politik.