TEMPO.CO, Jakarta - Joko Riyanto, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok lagi-lagi bikin heboh di jagat hukum. Ahok mengungkap adanya "anggaran siluman" dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta selama 2012-2015 yang sebesar Rp 12,1 triliun. Yang menyakitkan, "anggaran siluman" yang gendut itu diduga sengaja dibuat oleh kalangan DPRD dengan menitipkan ke berbagai satuan kerja perangkat daerah serta dengan berbagai modus lainnya.
Alih-alih berbuat transparan dan peduli rakyat, justru kalangan DPRD Jakarta menggulirkan hak angket. Tak mudah bagi DPRD untuk melengserkan Ahok, apalagi yang dilakukan Ahok tidak menyalahi aturan atau melanggar suatu kebijakan serta mendapat dukungan rakyat. Sebagai kepala daerah, Ahok punya hak untuk memastikan bahwa setiap rupiah dalam APBD jelas sumbernya, proses penyalurannya, alokasinya ke mana saja, siapa penerimanya, dan manfaatnya bagi rakyat.
Kita mendukung langkah Ahok memberantas mafia anggaran dalam APBD DKI Jakarta dan menangkap semua pelaku korupsi. Ahok mengaku memiliki bukti-bukti seputar dugaan korupsi yang terjadi pada APBD DKI Jakarta periode 2012-2015 dan telah menyerahkannya kepada KPK. Ahok menegaskan siap dipecat dan dipenjara jika dia terbukti melanggar konstitusi. Ahok tampaknya konsisten dalam mewujudkan pemerintahan DKI Jakarta yang bersih dan baik.
Sejak masih dipimpin Jokowi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan sistem penganggaran elektronik (e-budgeting) dan transaksi keuangan non-tunai. Upaya tersebut ditempuh dengan tujuan mencegah adanya permainan dan mafia anggaran dalam APBD. Jadi, sangat aneh ketika DPRD justru mempermasalahkan pilihan Gubernur Ahok dalam hal tata kelola pemerintahan yang menggunakan konsep e-budgeting dalam penyusunan APBD. Kita curiga, hak angket itu hanya untuk kepentingan politik sesaat untuk melengserkan Ahok.
Terungkapnya "anggaran siluman" itu membuktikan bahwa anggota DPRD yang dipilih rakyat ternyata tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan dengan cara melanggar hukum yang merugikan negara. Proses anggaran selama ini menjadi legalisasi korupsi demi kelancaran kepentingan para begal uang negara. Perilaku koruptif anggota DPRD tidak terlepas dari given authoritative power lewat perangkat UU pemerintah daerah yang menempatkan DPRD sebagai superbody yang paling ditakuti eksekutif. Kewenangan penganggaran oleh DPRD ternyata disalahgunakan dengan "korupsi terkontrol dan sistemik", sehingga uang negara banyak masuk ke kantong pribadi wakil rakyat. Praktek kotor demikian seharusnya segera diberantas tuntas ke akar-akarnya.
Dengan demikian, semua rapat di DPRD yang membahas anggaran dan kepentingan publik harus dilakukan secara terbuka dan transparan agar bisa diakses publik. Pembahasan anggaran di DPR seharusnya hanya mewakili gambaran makro, tidak masuk ke detail anggaran dan pelaksanaannya. Hal ini untuk menghindari peran ganda DPR sebagai mafia anggaran dan calo proyek.
Juga sangat penting untuk melibatkan pakar dan kalangan profesional untuk menghadirkan kajian akademis, realistis, transparan, obyektif, nonpartisan, dan akuntabel dalam penyusunan anggaran publik dalam APBD.