TEMPO.CO, Jakarta - Flo. K. Sapto W. pengamat pemasaran dan eksportir beras
Pada hari-hari terakhir ini, kenaikan harga beras mencapai 30 persen. Secara teori, kenaikan harga lumrah terjadi ketika pasokan produk ke pasar tersendat dan permintaan meningkat. Sedangkan prakteknya, formulasi teori itu sering direkayasa dengan sengaja. Teknisnya adalah dengan menahan pengeluaran stok produk di gudang.
Namun, secara alami, kondisi kelangkaan produk di pasar juga bisa terjadi akibat gagal panen. Kedua potensi kondisi instabilitas pasar tersebut oleh para ekonom-politik kemudian diantisipasi dengan skema buffer stock (stok bumper). Metode ini terinspirasi dari kitab suci. Kisahnya adalah ketika bangsa Mesir menimbun kelebihan hasil panen selama tujuh tahun untuk berjaga-jaga ketika tahun-tahun berikutnya terjadi paceklik. Skema serupa juga pernah dijalankan oleh Dinasti Sui di Cina pada abad ke-7 (www.bufferstock.org). Tujuan utama dari buffer stock adalah menstabilkan pasokan untuk mengendalikan harga.
Di Indonesia, beras menjadi sebuah contoh paling ironis dalam mekanisme pasar. Petani sebagai produsen, yang sebetulnya berkuasa atas produknya, justru tidak bisa menjualnya secara bebas. Ketergantungan petani terhadap penebas padi sangat besar-untuk tidak mengatakan dimonopoli. Penebas, yang sering kali mewakili para juragan penggilingan padi, bahkan seperti pemegang modal kerja para petani. Harga gabah menjadi taruhan antara pengganti biaya operasi (benih dan pupuk) dan kebutuhan finansial bagi musim tanam berikutnya.
Di atas penebas inilah para pedagang besar, yang jumlahnya secara nasional tidak lebih dari hitungan jari, memegang kendali atas harga dan pasokan. Tersendatnya pasokan, yang berimplikasi pada kenaikan harga beras di pasar, serta melimpahnya hasil panen, yang berakibat pada turunnya harga beli gabah dari petani, sudah menjadi sebuah pola mekanis. Dalam rekayasa itu, pedagang besar secara sempurna telah menguasai pasar. Mereka di satu sisi mendapatkan keuntungan besar dari pengeluaran stok dengan harga tinggi, di sisi lain mendapatkan stok kembali dengan harga murah.
Mekanisme pasar eksploitatif semacam itu hanya bisa diatasi dengan implementasi perbaikan, penguatan, dan pelebaran peran Bulog. Implementasi itu sekaligus mengemban dua misi besar. Pertama, pengendalian harga yang lebih baik di tingkat produsen (petani). Kedua, stabilisasi harga di tingkat konsumen. Penguatan di sisi produksi dengan pembukaan berjuta-juta lahan baru yang didukung belasan waduk tidak akan optimal tanpa kebijakan strategis di saluran distribusi produk.