Sulit membayangkan Badan SAR Nasional yang sekarang bekerja keras mencari korban jatuhnya pesawat AirAsia PK-AXC QZ8501 ternyata harus bergerak dengan anggaran sangat minim. Pada 2013, DPR hanya meloloskan anggaran Basarnas Rp 1,3 triliun.
Minimnya anggaran itu pulalah yang mungkin menjelaskan mengapa tim Basarnas perlu waktu hingga 3 hari untuk menemukan lokasi jatuhnya pesawat AirAsia. Peralatan mereka sangat terbatas. Tidak ada, misalnya, kapal selam pencari, baik yang berawak maupun tak berawak. Padahal, perangkat itu terbukti sangat vital saat operasi pencarian korban AirAsia.
Beruntung, karena medan pencarian bukan laut dalam, reruntuhan pesawat bisa segera ditemukan. Koordinasi operasi evakuasi jenazah penumpang dengan gabungan tim pencari dari dalam dan luar negeri pun bisa dilakukan Basarnas dengan bagus. Hasilnya, 48 jenazah berhasil dievakuasi, ekor pesawat bisa diangkat, dan kedua kotak hitam ditemukan.
Basarnas patut dihargai untuk kesuksesan koordinasi operasi yang tergolong masif ini. Namun keberhasilan ini seharusnya menjadi momentum untuk memberi perhatian lebih serius pada mereka. Tugas Basarnas sangat berat. Dengan tingkat kejadian bencana di Indonesia yang sangat tinggi-lebih dari 280 bencana setiap tahun, belum termasuk kecelakaan transportasi, seperti jatuhnya pesawat AirAsia-menuntut Basarnas bekerja optimal tanpa anggaran memadai jelas tidak adil.
Dengan anggaran cuma Rp 1,3 triliun setahun, bahkan untuk biaya operasi rutin, jumlah itu pasti tak akan cukup. Ditambah kebutuhan pelatihan tenaga, pembelian peralatan, dan cadangan logistik, Basarnas diperkirakan memerlukan paling sedikit Rp 3 triliun setahun. Itu pun mesti dihemat karena jumlah tersebut tak cukup untuk membeli perlengkapan modern. Misalnya, kebutuhan mendesak memiliki kapal badan lebar untuk menghadapi gelombang setinggi 3 meter.
Sudah seharusnya pemerintah mengajukan tambahan anggaran untuk Basarnas dalam RAPBN Perubahan 2015 nanti. Dalam pertemuan dengan tim Basarnas, pekan lalu, Komisi V DPR telah berjanji akan menyetujui penambahan anggaran. Harapan kita adalah pemerintah segera menyiapkan usulan kenaikan anggaran itu. Apalagi, waktu yang tersisa untuk tenggat pembahasan Anggaran Perubahan 2015 sudah dekat.
Yang juga harus diprioritaskan pemerintah adalah segera menerbitkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29/2014 tentang Pencarian dan Pertolongan. Undang-undang yang baru disahkan pada September lalu itu dengan tegas menempatkan badan pencari dan pertolongan sebagai pusat komando operasi penyelamatan.
Tanpa bekal peraturan pelaksanaan, badan pencari tak memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk memerintahkan kerja sama operasi atau peminjaman alat dan personel penyelamatan ke instansi lain. Mereka akan bergantung pada "kebaikan hati" instansi lain. Inilah yang harus dicegah. Badan ini semestinya bisa leluasa menjalankan operasi-operasinya tanpa bergantung pada "keikhlasan" lembaga lain.