Sungguh memalukan pengelola Kebun Raya Bogor tak memiliki alat deteksi rayap dan kesehatan pohon. Pengelola tak tahu mana pohon sehat, sakit, dan keropos. Maka, tragedi belum lama ini, pohon tumbang yang menewaskan enam orang serta melukai 25 pengunjung, merupakan harga amat mahal yang harus dibayar.
Kejadian ini bukan yang pertama. Pada 2005, sebuah pohon tua juga roboh dan membunuh anak 11 tahun serta melukai 20 orang lainnya. Penyebabnya sama: rayap. Pohon-pohon berusia di atas 50 tahun itu tampak bagus dari luar tapi keropos di dalam. Selama ini pengelola Kebun Raya hanya mengandalkan survei visual untuk mendeteksi 40 ribu pohon di sana.
Lebih celaka lagi, para pengelola sebenarnya tahu alat deteksi rayap sudah lama ada. Di Indonesia, alat itu hanya ada di laboratorium entomologi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Alat yang disebut sonic tomography produksi Jerman itu harganya Rp 250 juta. Dengan penghasilan Rp 15 miliar setahun dari penjualan tiket, menganggarkan satu alat tentu bukan hal yang sulit.
Sonic bekerja seperti sinar-X di bidang internis kedokteran. Ia memindai dan menghasilkan foto kondisi pohon yang sebenarnya. Jadi, dari hasil pemeriksaan itu, perlakuan terhadap tiap pohon bisa segera diputuskan: ditebang sebelum roboh atau disemen jika jenisnya perlu dipertahankan. Damar yang roboh pekan lalu itu berumur 50 tahun, baru sepertiga usia kemampuan Agathis umumnya hidup.
Para pengelola Kebun Raya, yang terdiri atas para ilmuwan karena manajemennya menginduk pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tentu juga mafhum bahwa tanah Bogor yang lembap adalah rumah bagi lima famili rayap. Karena itu, mengandalkan pemeriksaan pohon dari pandangan mata belaka, selain kuno, sangat bias dan berpotensi keliru.
Sebab, ancaman bagi pohon-pohon di Kebun Raya bukan sekadar rayap, tapi juga air. Seperti penjelasan Wali Kota Bogor Bima Arya, bahwa pohon-pohon di Kebun Raya terancam tumbang karena kekurangan air akibat disedot manusia yang tinggal di pertokoan, kantor, dan hotel-hotel yang tumbuh masif di sekeliling Kebun Raya Bogor dalam 10 tahun terakhir. Bima Arya pernah berjanji mengkaji ulang izin-izin bangunan di sekelilingnya.
Dan, Bogor tak kekurangan ahli untuk mendeteksi itu. Institut Pertanian Bogor punya jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Kehutanan di kampus itu pun punya laboratorium rayap dan kayu dengan para ahli mumpuni yang bisa diajak bekerja sama mendeteksi pohon dan memeliharanya. Sebab, Kebun Raya Bogor sejak mula, ketika didirikan Prabu Siliwangi pada 1474, ditujukan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Tak adanya alat deteksi pohon yang elementer bagi sebuah laboratorium, selain memalukan, menunjukkan kelalaian pengelola yang berakibat hilangnya nyawa manusia. Dalam kondisi normal, semestinya kelalaian itu merupakan sebuah tindak pidana yang punya konsekuensi hukuman bui. Polisi berhak menyelidiki damar itu untuk mencegah kelalaian serupa yang tak perlu terulang. l