Presiden Joko Widodo mesti memikirkan cara alternatif untuk memerangi peredaran narkotik selain dengan mengeksekusi terpidana mati. Hukuman ini kurang bermartabat dan belum tentu memberikan efek jera.
Bandar dan pengedar narkotik diasumsikan akan jeri setelah pemerintah belum lama ini mengeksekusi enam terpidana mati lima di antaranya warga negara asing. Kejaksaan Agung juga menjanjikan eksekusi gelombang kedua. Sejumlah terpidana mati yang lain memang sudah menunggu antrean karena Presiden Jokowi telah menolak permohonan grasi mereka.
Efek takut itulah yang dijadikan argumen para penyokong hukuman mati. Apalagi negara kita sudah darurat narkotik. Para bandar barang laknat itu menyasar pengguna dari beragam usia dengan berbagai cara. Narkotik tak lagi diedarkan di tempat tersembunyi seperti cerita pada masa lalu, melainkan mudah ditemukan di kantor pemerintahan, kampus, hingga di sekolah-sekolah. Negara kita telah menjadi pangsa narkotik terbesar se-Asia Tenggara atau mengkonsumsi separuh dari pasokan narkotik di kawasan ini.
Badan Narkotika Nasional, yang juga mendukung penerapan hukuman mati, mengungkapkan, banyak anak usia SD dan SMP kini menjadi pecandu. Mereka termasuk dalam 4,5 juta penduduk Indonesia yang kini menjadi pengguna narkotik, dan 1,2 juta di antaranya tak bisa disembuhkan karena kondisinya yang parah. Bahkan kini hampir 50 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Mayoritas dari mereka adalah rakyat Indonesia di usia produktif.
Masalahnya, benarkah hukuman mati merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi darurat narkotik? Bagaimana bila para bandar dan pengedar tidak takut kendati kejaksaan mengeksekusi semua terpidana mati kasus narkotik? Itulah pentingnya pemerintah mengevaluasi penerapan hukuman mati dan segera menghentikannya bila tidak efektif mengurangi peredaran narkotik.
Yang jelas, hukuman mati selama ini terbukti tak mengurangi kejahatan sadistis. Kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1998 dan 2002 secara konsisten menunjukkan bahwa dua hal itu tidak memiliki korelasi. Di Amerika Serikat, yang masih menerapkan vonis mati, angka kejahatan sadistis tidak menurun. Sebaliknya, di Kanada, yang telah menghapus hukuman ini, angka kejahatan serupa justru menyusut.
Kanada masuk daftar 88 negara yang sudah menghapus hukuman mati. Terdapat 30 negara yang masih mencantumkan pidana mati tapi menghentikan penerapannya. Adapun Indonesia masuk daftar 68 negara yang masih menggunakan jenis hukuman ini.
Negara kita seharusnya juga menghapus hukuman mati. Langkah ini perlu dipertimbangkan karena Undang-Undang Dasar 1945 amat menghargai hak asasi manusia. Kendati pidana mati masih bercokol di sejumlah undang-undang, konstitusi jelas menjamin hak hidup setiap orang. Dan hak itu tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.