Keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghapus pos-pos anggaran dalam Rancangan APBD 2015 yang berpotensi merugikan negara patut didukung. Jumlah anggaran yang diduga fiktif itu sangat besar, yakni Rp 8,8 triliun.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD memang disebutkan hak anggota Dewan untuk memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah. Hak itu diwujudkan dalam apa yang disebut Pokok Pikiran.
Pokok Pikiran inilah yang sering disalahgunakan. Anggota Dewan memasukkan program yang seolah-olah merupakan masukan dari konstituennya. Padahal, kerap diketahui bahwa mereka sesungguhnya hanya mencatut aspirasi para pendukungnya.
Pola seperti ini sudah diketahui sejak 2013 ketika pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama mulai memimpin DKI Jakarta. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan DKI Jakarta pernah menemukan kegiatan fiktif di Dinas Pekerjaan Umum tahun lalu senilai Rp 3,5 triliun dan Rp 33,4 miliar di Dinas Kesehatan.
Pengajuan anggaran ini juga melalui jalan tak patut. Anggaran itu disebut merupakan titipan dari DPRD. Anehnya, ketika ditelusuri, tak ada satu pun anggota DPRD yang mengaku mengirim surat berisi anggaran titipan tersebut. Makanya, Gubernur Basuki menyebutnya anggaran siluman.
Anggaran yang diduga bodong itu sekarang mudah terendus karena, mulai tahun ini, pemerintah DKI Jakarta menerapkan e-budgeting. Pelaksanaan e-budgeting mensyaratkan setiap kegiatan dan pos anggarannya tercatat secara kronologis, sehingga setiap program atau kegiatan mudah dilacak asal-usulnya.
Trik-trik meloloskan anggaran siluman ini harus dihentikan. Jakarta, yang memiliki nilai APBD terbesar di Indonesia-mencapai Rp 72 triliun pada 2014-sudah seharusnya menjadi contoh penerapan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, pemerintah daerah diwajibkan menerapkan asas transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD.
Dalam konteks inilah, peran DPRD menjadi sangat penting. Dewan ikut membahas dan mengesahkan RAPBD. Karena itu, Gubernur dan Dewan mesti berada di barisan terdepan dalam menjaga prosesnya dan alokasinya harus tepat sasaran serta bebas dari korupsi.
Kasus ini menunjukkan bahwa Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta belum sejalan dan sepaham tentang akuntabilitas dan transparansi proses pembuatan anggaran dan implementasinya kelak. Masih terlihat ada upaya untuk menggerogoti anggaran dalam jumlah yang sangat besar.
Gubernur Basuki tak boleh hanya berhenti pada pencoretan anggaran yang diduga fiktif ini. Kasus-kasus yang sudah dibongkar harus sampai ke pengadilan. Untuk kasus yang sekarang, Gubernur harus menelusurinya agar terang-benderang siapa yang mengusulkan dan motifnya. Temuan ini akan sangat berguna di masa mendatang, sehingga keterbukaan seperti sekarang ini bisa berkesinambungan, siapa pun yang nanti menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta.