TEMPO.CO, Jakarta - Siswo Mulyartono, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina
Akhir Februari lalu, beberapa warga Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, mengandaskan perampasan sepeda motor dan menangkap salah satu pelaku. Begal tidak diserahkan ke polisi, melainkan dipukuli dan dibakar hingga mati.
Main hakim sendiri merupakan jenis konflik kekerasan paling dominan di Indonesia. Bentuknya bisa sweeping, penganiayaan, dan perusakan harta benda.
Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) mencatat tak kurang dari 6.807 konflik kekerasan terjadi selama Januari hingga November 2014. Dari jumlah tersebut, main hakim sendiri menyumbang 3.952. Sedangkan 786 insiden berkaitan dengan sengketa sumber daya, 767 berhubungan dengan perseteruan identitas, 467 menyangkut pemilihan dan jabatan, 456 berasal dari konflik tata kelola pemerintahan, serta 41 konflik dipicu separatisme. Sisanya, 338 berasal dari luar kategori konflik tersebut.
Data SNPK juga menampilkan dampak dan sebaran peristiwa tak peduli hukum. Dari segi dampak, main hakim sendiri mengakibatkan 282 orang tewas, 1.032 mengalami cedera, dan 422 bangunan rusak. Ibu Kota dan sekitarnya menempati urutan ketiga di level provinsi yang paling banyak main hakim sendiri. Terdapat 449 kasus main hakim sendiri di wilayah tersebut. Kejadian yang paling sering dipantik adalah pencurian atau penjambretan.
Mengapa warga memilih bertindak di luar hukum ketika menghadapi begal dan sejenisnya? Satu alasan adalah pudarnya kepercayaan publik kepada kepolisian. Kinerja kepolisian sering dianggap lemah, baik di level imbauan dan pendekatan, pencegahan, maupun represi. Alasan lainnya, warga ingin memberikan efek jera kepada maling. Selain itu, memukuli pencuri hingga mati dianggap sebagai pencarian keadilan berbiaya murah.
Membalas pelanggar hukum dengan cara melanggar hukum tak bisa dibenarkan dan harus dihukum. Sebagai negara hukum, kita semua perlu mencegah tindakan main hakim sendiri supaya tak mendarah daging di masyarakat Indonesia. Upaya itu minimal bisa dilakukan di dua level, yakni kepolisian dan masyarakat.
Kepolisian merupakan garda depan pemerintah dalam menjaga keamanan dan penegakan hukum. Polisi sering tidak mampu dan mau menjalankan fungsi tersebut. Masalah kemampuan bisa diatasi dengan meningkatkan kapasitas polisi melalui pelatihan dan pendidikan serta penambahan anggota dan anggaran operasional polisi. Kemauan polisi dapat dikelola melalui mekanisme penghargaan dan sanksi. Apresiasi bisa berbentuk kenaikan pangkat dan jabatan. Imbalan negatif berupa penurunan pangkat serta jabatan dan pemecatan.
Main hakim sendiri bukanlah cermin masyarakat demokratis. Demokrasi Indonesia bisa tumbang jika kita cenderung memilih cara kekerasan dalam mengelola konflik. Masyarakat harus menahan diri dan mencari keadilan di meja hijau. Jika rasa aman dan keadilan belum ditemukan, kita bisa mencarinya melalui institusi-institusi formal yang disediakan demokrasi. Para pelaku kriminal merupakan bagian dari masyarakat yang butuh dibina, bukan dibinasakan.
Mengelola konflik dengan cara nirkekerasan butuh kemauan, kemampuan, dan kesabaran dari semua pihak. Jika kita mengabaikan proses tersebut, pemerintah dan masyarakat sedang mengalami pembusukan.