Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

KPK Pandawa

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Feri Amsari, dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; anggota Lembaga Antikorupsi Integritas Sumbar

Merujuk ke mitologi pewayangan, Kurawa adalah simbol koruptor dalam kehidupan bernegara. Sebuah kelompok persaudaraan yang berjumlah banyak, licik, dan menggunakan segala cara untuk menang.

Sementara itu, di sisi berbeda, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah Pandawa. Meski dipimpin lima komisioner, KPK tidak memiliki "kekuatan sakti" untuk mengalahkan Kurawa (baca: koruptor) dengan mudah. Walau tidak sama dalam kesaktian, KPK mengalami "penderitaan hidup" sederajat dengan para Pandawa dalam memerangi korupsi. Bukan tidak mungkin, penderitaan itu berujung dengan dibubarkannya, atau setidaknya terjadi pelemahan, KPK.

Dalam konflik KPK melawan koruptor, permainan sesungguhnya dikendalikan "Sengkuni partai politik". Segala upaya dilakukan dengan strategi yang amat terencana.

Anggota partai politik di DPR, misalnya, telah berupaya melumpuhkan KPK sedari awal. Melalui fungsi legislasinya, DPR berencana merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana (KUHP dan KUHAP). Rencana revisi itu bertujuan menghilangkan/membatasi beberapa kewenangan penting KPK. Salah satu yang hendak dirusak adalah kewenangan penyadapan. Padahal, melalui kewenangan penyadapan itu, KPK berhasil menangkap basah para koruptor. Akibat luasnya penolakan masyarakat, revisi itu gagal.

DPR menyadari bahwa revisi perundang-undangan tidak bisa diandalkan melemahkan KPK. Jika KUHP dan KUHAP berhasil direvisi, masyarakat tetap berpotensi mengembalikan kewenangan tersebut melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, DPR perlu mencari jalur alternatif menyerang KPK.

Berikutnya, melalui kewenangan memilih komisioner KPK, DPR sengaja tidak memilih pimpinan KPK untuk menggantikan Busyro Muqoddas, yang masa jabatannya berakhir Desember lalu. Meskipun memilih pengganti Busyro merupakan kewajiban DPR berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, DPR berkukuh membiarkan KPK dipimpin empat komisioner saja. Kekurangan itu membuat seluruh kebijakan KPK dianggap tidak sah oleh para koruptor dan beberapa anggota DPR itu sendiri.

Ketika KPK masih tetap bergerak dengan empat pemimpin, serangan koruptor semakin gencar dengan melakukan kriminalisasi terhadap seluruh pimpinan KPK. Bambang Widjajanto dan Abraham Samad dipaksa berhenti sementara. Melalui kekuatan partai politik lain, Presiden melantik dua komisioner sementara yang menjalankan tugas melemahkan KPK dari dalam. Salah satu komisioner bahkan terlibat sangat aktif "melumpuhkan" KPK dengan berencana menyusupkan penyidik-penyidik baru bermasalah. Bahkan terkesan sang komisioner hendak menggagas barter perkara dengan pihak-pihak yang menyerang KPK. Bukan tidak mungkin dua komisioner tersebut adalah Sengkuni yang digerakkan oleh musuh-musuh KPK.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Partai penguasa juga terlibat "mematikan" KPK. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto terlibat langsung dalam merusak kepercayaan publik kepada KPK. Hasto menyebut Abraham Samad sengaja menetapkan calon Kapolri pilihan partainya sebagai tersangka, karena gagal menjadi calon wakil presiden PDIP.

Pernyataan itu tentu membuat kegaduhan luar biasa. Padahal tidak pernah ada partai ikut merancang kegaduhan ketika kadernya memimpin eksekutif tertinggi negara. Sebagai partai pemerintah, PDIP berkewajiban menjaga stabilitas politik-keamanan. Keanehan PDIP semakin kuat ketika kader partai berlambang banteng itu, Sugianto Sabran, turut melaporkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) dalam kasus mengatur keterangan palsu di persidangan MK.

Meskipun tak masuk akal, demi menghormati Pasal 32 ayat (2) UU KPK, kedua pemimpin KPK mengundurkan diri sementara hingga perkaranya memperoleh putusan tetap. Tentu proses peradilan akan memakan waktu yang panjang, padahal masa jabatan pimpinan KPK tinggal kurang dari sepuluh bulan.

Serangan terhadap KPK terus terjadi. Putusan pengadilan pun tidak berpihak kepada KPK. Melalui putusan yang kontroversial, KPK dinyatakan tidak berwenang menetapkan status tersangka atas calon Kapolri pilihan PDIP. Kekalahan semakin menyakitkan ketika upaya kasasi KPK ditolak pengadilan.

Kekalahan demi kekalahan tersebut semakin menguatkan persepsi bahwa partai, kepolisian, DPR, insan pers, dan lembaga peradilan telah membuat KPK sendirian dalam melawan korupsi. Apakah peristiwa itu merupakan gambaran telah bersatu-padunya para Kurawa?

Meskipun KPK berada di ujung tanduk, bukan berarti tidak ada jalan untuk menguatkan lembaga antirasuah itu. Presiden dan masyarakat adalah harapan terakhir KPK. Presiden Joko Widodo dapat menarik kembali dua pemimpin sementara. Solusinya, dengan memilih tujuh kandidat calon pimpinan sementara yang pernah diusulkan KPK. Jika Presiden mengabaikan pilihan itu dan ikut terlibat melemahkan KPK, maka kekuatan publik adalah jawabannya. Mari kita selamatkan "kelima Pandawa" KPK sekarang juga!


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Polri Akui Ada Kendala Identifikasi Teror Bom Pimpinan KPK

14 Januari 2019

Suasana kediaman Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif setelah diserang dengan bom molotov di Jalan Kalibata Selatan, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019. Menurut keterangan saksi, kejadian penyerangan terhadap kediaman Laode terjadi pada pukul 01.00 WIB dinihari dengan ditemukannya botol berisikan spritus dan sumbu apai. TEMPO/Muhammad Hidayat
Polri Akui Ada Kendala Identifikasi Teror Bom Pimpinan KPK

Polisi mengakui menemukan kendala dalam mengidentifikasi bom molotov dan bom palsu di rumah pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Laode M Syarif.


Idul Fitri, Novel Baswedan Salat Id di Masjid Dekat Rumah Sakit

25 Juni 2017

Penyidik KPK Novel Baswedan tiba di Rumah Sakit Mata Jakarta Eyes Center di Menteng, Jakarta Pusat, 11 April 2017. TEMPO/Yohanes Paskalis
Idul Fitri, Novel Baswedan Salat Id di Masjid Dekat Rumah Sakit

Karena kondisi matanya belum pulih, Novel Baswedan hanya bisa merayakan Idul Fitri di rumah sakit di Singapura.


Alasan Polisi Belum Bisa Mengungkap Penyerang Novel Baswedan

19 Mei 2017

Sejumlah aktifis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil membawa topeng foto Novel Baswedan di gedung KPK, Jakarta, 12 April 2017. Mereka meminta KPK dan aparat kepolisian untuk segera mengusut kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan didepan kediamannya dikawasan Kelapa Gading, Jakarta. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Alasan Polisi Belum Bisa Mengungkap Penyerang Novel Baswedan

Polda Metro Jaya membantah bekerja lambat dalam mengungkap kasus serangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.


Kapolda Metro: Serangan ke Novel Sangat Terencana, Digambar Dulu  

26 April 2017

Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan. TEMPO/Ijar Karim
Kapolda Metro: Serangan ke Novel Sangat Terencana, Digambar Dulu  

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan mengatakan serangan kepada Novel Baswedan sangat terencana dengan baik.


2 Orang yang Difoto Dekat Rumah Novel Ternyata Informan Polisi

24 April 2017

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi RP Argo Yuwono. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
2 Orang yang Difoto Dekat Rumah Novel Ternyata Informan Polisi

Dua orang yang difoto dekat rumah Novel Baswedan berprofesi sebagai debt collector sekaligus jadi informan polisi untuk kasus pencurian motor.


Polisi Periksa Terduga Pelaku Serangan ke Novel Baswedan

21 April 2017

Sejumlah aktifis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil membawa topeng foto Novel Baswedan di gedung KPK, Jakarta, 12 April 2017. Mereka meminta KPK dan aparat kepolisian untuk segera mengusut kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan didepan kediamannya dikawasan Kelapa Gading, Jakarta. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Polisi Periksa Terduga Pelaku Serangan ke Novel Baswedan

Polisi tengah memeriksa seorang yang diduga pelaku penyiram air keras pada Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.


Tiga Regu Khusus Ini Selidiki Teror Air Keras terhadap Novel Baswedan  

13 April 2017

Novel Bawesdan meninggalkan ruang perawatan di JEC, 12 April 2017. TEMPO/Budi Setyarso
Tiga Regu Khusus Ini Selidiki Teror Air Keras terhadap Novel Baswedan  

Polda Metro Jaya membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.


Teror Tak Lumpuhkan Novel dan KPK

13 April 2017

Teror Tak Lumpuhkan Novel dan KPK
Teror Tak Lumpuhkan Novel dan KPK

Air keras disiramkan ke wajah Novel Baswedan. Patut diduga, otak pelakunya berkeinginan agar Novel roboh dan KPK rapuh. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Novel Baswedan adalah ikon di KPK. Karena itu, menyerang Novel berarti pula menggempur KPK.


Kapolda: Jangan Blunder Lama Ungkap Serangan ke Novel Baswedan

12 April 2017

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil membawa topeng foto Novel Baswedan di gedung KPK, Jakarta, 11 April 2017. Mereka meminta KPK dan aparat kepolisian untuk segera mengusut kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Kapolda: Jangan Blunder Lama Ungkap Serangan ke Novel Baswedan

Kapolda Metro Jaya Irjen Mochammad Iriawan meminta seluruh jajarannya untuk bekerja maksimal mengungkap kasus serangan terhadap Novel Baswedan.


Serangan ke Novel Baswedan, Kapolda Metro: Ada yang Menyuruh

12 April 2017

Novel Bawesdan meninggalkan ruang perawatan di JEC, 12 April 2017. TEMPO/Budi Setyarso
Serangan ke Novel Baswedan, Kapolda Metro: Ada yang Menyuruh

"Tentu ada motif. Ada pelaku di lapangan yang menyiram tentu ada yang menyuruh. Tidak mungkin berdiri sendiri," ucap Iriawan.