TEMPO.CO, Jakarta - Eddi Elison, Pengamat Sepak Bola Nasional
Sebanyak 17 wakil 7 Perserikatan menggelar rapat di Gedung Handeprojo (sekarang Gedung Batik), di Jalan Yudonegaran, Yogyakarta, 19 April 1930. Hasil rapat, lahirlah PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia-berubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dalam Kongres PSSI 1950 di Semarang). Rapat dilakukan malam hari, menghindari incaran polisi Belanda agar tidak ditetapkan sebagai gerakan politik. Namanya pun tidak memakai kata "sepak bola", sehingga tidak dituduh menyaingi organisasi sepak bola Belanda, NIVB (Nederlands Indische Voetbal Bond).
Saat pidato membuka rapat, Ketua Panitia M. Daslam Adiwasito berkata antara lain: "Kita orang berkumpul di tempat ini untuk misi bangsa mendirikan kumpulan sport bagi kemuliaan bangsa." Peserta menyambutnya dengan tepuk tangan, termasuk Soeratin Sosrosoegondo, dan Soetjitro yang diundang secara khusus.
Wakil-wakil dari Perserikatan yang hadir antara lain adalah VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta; selanjutnya berubah menjadi Persija), dan BIVB (Bandoengsche Indonesische Voetbalbond; selanjutnya menjadi Persib).
Terpilih sebagai ketua, Soeratin Sosrosoegondo. Programnya: melaksanakan kompetisi, membentuk komisaris di seluruh Indonesia. Perjuangan PSSI tidak terbatas pada sepak bola semata. Sepak bola dipilih untuk memelopori Olahraga Kebangsaan, yang anti-penjajahan. Berpidato dalam Kongres Windon 1938 di Solo, Soeratin menegaskan, "PSSI dibangun dan dikembangkan untuk membuktikan kepada penjajah bahwa bangsa Indonesia mampu bersaing dengan Belanda, bahkan mengalahkannya sebagai pembalasan atas penghinaan yang mereka lakukan selama ini kepada kita."
Jika dikaitkan dengan sejarah berdirinya PSSI dan mendalami tekad para pendirinya, bisa ditarik kesimpulan bahwa PSSI dilahirkan sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa, tecermin dari alinea I Mukadimah Statuta PSSI, berarti PSSI anti-imperialis, berjuang demi kemerdekaan.
Sayang, jiwa dan spirit anti-imperialis itu sejak beberapa tahun belakangan ini berubah total, terutama setelah dibentuknya Indonesia Super League (ISL), karena jiwa dan spiritnya adalah liberalistis.
Persis, yang 85 tahun lalu ikut mendirikan PSSI, saat ini tidak tepat dicantumkan sebagai pendiri PSSI. Pendiri PSSI adalah Perserikatan Persija, Persib, Persibaya, PSM (sekarang PSIM), dan Persis, bukan atas nama klub yang berorientasi "cari untung". Semua perserikatan pendiri PSSI, termasuk Magelang dan Madiun, saat ini kelabu hidupnya. Kalaupun masih ada, eksistensinya telah mengabur.
Bukankah ini merupakan penodaan terhadap sejarah sepak bola nasional, bahkan dapat pula digolongkan sebagai pencercaan terhadap amanah para pendiri PSSI? Semua ini terjadi akibat pendewaan PSSI terhadap FIFA. Padahal, sebagai anggota, peraturan FIFA perlu dituruti, lalu diharmonikan dengan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kebangsaan. Berjiwa besarlah untuk mengembalikan marwah Perserikatan sebagai pendiri PSSI! Kini saatnya, semua klub pro harus mengubah namanya, tidak lagi memakai nama Perserikatan, misalnya Persib menjadi Maung Bandung, Persija (Jakarta United), Persebaya (Arek Surabaya Club), dan lain-lain, sehingga sejarah sepak bola tidak tercemar dan ternoda!