Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ibuisme Inggit Garnasih

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - M. Fauzi Sukri, penulis

Inggit Garnasih tak pernah punya anak. Namun, dalam serangkaian acara yang mendeklarasikan Februari 2015--bertepatan dengan hari kelahirannya, 17 Februari-sebagai Bulan Cinta Inggit Garnasih, ia ditahbiskan menjadi ibu agung.

Dalam beberapa hal, Sukarno adalah anak sejati Inggit Garnasih, bukan karena ia akhirnya menjadi presiden Indonesia yang pertama. Inggit tak mau masuk Istana Negara, hanya sampai pada pintu gerbang. Penahbisan ibu agung itu adalah berkat pengasuhan Inggit demi Sukarno. "Dia itulah," kata Sukarno kepada Cindy Adams (1966: 77), "jang membereskan kamarku, melajaniku, memperhatikan pakaianku, dan mendengarkan buah-pikiranku. Dialah orang jang bertindak sebagai ibu kepadaku, bukan Utari." Hubungan ini memang bersifat psikologis: pemuda yang mendamba seorang kekasih sekaligus seorang ibu. Dan Inggit memenuhi semua ini dengan ketulusan dan kelembutan hati.

"Aku tahu pikiran suamiku dari dirinya sendiri bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan dari seorang ibu, kekasih, dan kawan. Kusno pun ingin diibui oleh teman hidupnya. Kalau pilek, ia ingin supaya aku memijitnya, mengurutnya. Kalau lapar, ia ingin makan makanan kesukaannya yang aku masak sendiri. Kalau kancing bajunya lepas, ia ingin aku yang memasang kancing itu kembali," kata Inggit (Ramadhan, 2011: 46).

Hubungan ini bukan sekadar hubungan suami-istri dalam pengertian tata nilai keagamaan atau dua orang kekasih dalam tata sosial kemasyarakatan. Inggit tampak melampaui semua ini. Sosok keibuan yang diperlihatkan dan dilakukan Inggit kepada Sukarno sudah melampaui sosok ibu dalam tata nilai tradisional, bahkan hingga saat ini. Seorang pemuda revolusioner Sukarno sebenarnya bisa dengan mudah mendapatkan perempuan yang secara umur sejajar dengan dirinya, bahkan bisa jauh lebih cantik dan terpelajar daripada Inggit pada zamannya. Namun Sukarno memilih Inggit, perempuan yang sudah menikah dua kali dan hanya lulusan madrasah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Inggit jang bermata besar dan memakai gelang di tangan itu tidak mempunjai masa lampau gemilang. Dia samasekali tidak terpeladjar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Jang kuhargai adalah kemanusiannja…. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu jang tidak bisa diberikan oleh buku. Dia memberiku ketjintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan segala apa jang kuperlukan jang tidak dapat kuperoleh semendjak aku meninggalkan rumah ibu," kata Sukarno (Cindy Adams, 1966: 81), penulis buku Sarinah; Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia.

Sukarno mengibukan istrinya, Inggit Garnasih, dalam kehidupan keluarga dan perjuangan cita-cita demi bangsanya. Inggit-lah yang membantu perjuangan pemuda Sukarno sejak kuliah di Technische Hogeschool, menjadi tokoh pergerakan nasionalis, sampai akhirnya mengantarkan Sukarno ke gerbang Istana Republik Indonesia.

Maka, secara biologis, Sukarno lahir dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai. Secara intelektualitas, Sukarno lahir dari rahim buku-buku dan zaman pergolakan nasionalisme Indonesia. Secara psikologis kultural, Sukarno diasuh oleh Inggit Garnasih, kekasih tercintanya sekaligus yang menjadi ibunya dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Inggit Garnasih adalah ibu bangsa Indonesia.


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Napak Tilas Syekh Yusuf, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan hingga Cape Town Afrika Selatan

23 hari lalu

Syekh Yusuf. Istimewa
Napak Tilas Syekh Yusuf, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan hingga Cape Town Afrika Selatan

Nama Syekh Yusuf terkenal di Afrika Selatan, terdapat jejak peninggalan yang masih ada sampai sekarang.


396 Tahun Syekh Yusuf, Pahlawan Nasional Panutan Nelson Mandela

23 hari lalu

Syekh Yusuf. Istimewa
396 Tahun Syekh Yusuf, Pahlawan Nasional Panutan Nelson Mandela

Syekh Yusuf dianugerahi pahlawan nasional dua negara memiliki perjalanan dakwah panjang hingga di Afrika Selatan. Nelson Mandela mengaguminya.


Profil Kapolri Pertama, Raden Said Soekanto dan Banyak Momen Bersejarah di Awal Kemerdekaan

25 hari lalu

Jenderal Pol. (Purn.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri; dulu bernama Kepala Djawatan Kepolisian Negara) pertama. Sejak dilantik, Soekanto mengonsolidasi aparat kepolisian dengan mengemban pesan Presiden Soekarno membentuk Kepolisian Nasional. Wikipedia
Profil Kapolri Pertama, Raden Said Soekanto dan Banyak Momen Bersejarah di Awal Kemerdekaan

Jenderal Pol Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan Kapolri pertama pada 1945-1959. Ia menolak penggabungan Polri dan TNI jadi ABRI.


Sosok Lafran Pane, Pendiri HMI yang Dikisahkan dalam Film Lafran

38 hari lalu

Lafran Pane. wikipedia.com
Sosok Lafran Pane, Pendiri HMI yang Dikisahkan dalam Film Lafran

Sosok Lafran Pane dikisahkan dalam film Lafran, akan tayang serentak di bioskop pada 20 Juni 2024. Siapa dia?


Jejak Singkat Perjalanan Perjuangan Kemerdekaan Tan Malaka Hingga Pemikirannya

54 hari lalu

Tan Malaka. id.wikipedia.org
Jejak Singkat Perjalanan Perjuangan Kemerdekaan Tan Malaka Hingga Pemikirannya

Peran Tan Malaka sebagai pemikir dan revolusioner telah menginspirasi banyak orang dan pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.


127 Tahun Tan Malaka, Sosok Pahlawan Revolusioner

54 hari lalu

Rumah dan Museum Tan Malaka yang memprihatinkan, di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Payakumbuh, Sumbar, 2 Desember 2014. Tan Malaka merupakan tokoh pahlawan nasional yang tidak diakui oleh Orde Baru karena kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Tempo/Aris Andrianto
127 Tahun Tan Malaka, Sosok Pahlawan Revolusioner

Tan Malaka, sosok penting perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan ideologinya yang khas.


15 Pahlawan Nasional Asal Sumbar: Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Rohana Kudus, hingga AK Gani

13 Mei 2024

Ruhana Kuddus. Wikipedia
15 Pahlawan Nasional Asal Sumbar: Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Rohana Kudus, hingga AK Gani

15 tokoh Sumbar dinobatkan sebagai pahlawan nasional, antara lain Proklamator Mohamad Hatta, Imam Bonjol, Rohana Kudus, Rasuna Said, hingga AK Gani.


3 Fakta Cut Nyak Dhien di Sumedang, Mengajar Agama dan Disebut Ibu Suci

2 Mei 2024

Sejumlah siswa meliha foto pahlawan Cut Nyak Dhien saat bermain di sekolah yang terbengkalai di SDN 01 Pondok Cina, Depok, Jawa Barat, 27 Agustus 2015. Tempo/M IQBAL ICHSAN
3 Fakta Cut Nyak Dhien di Sumedang, Mengajar Agama dan Disebut Ibu Suci

Cut Nyak Dhien sangat dihormati masyarakat Sumedang dan dijuluki ibu perbu atau ibu suci. Ia dimakamkan di tempat terhormat bangsawan Sumedang.


Kisah Cut Nyak Dhien Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional 60 Tahun Lalu, Rakyat Aceh Menunggu 8 Tahun

2 Mei 2024

Cut Nyak Dien. peeepl.com
Kisah Cut Nyak Dhien Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional 60 Tahun Lalu, Rakyat Aceh Menunggu 8 Tahun

Perlu waktu bertahun-tahun hingga akhirnya pemerintah menetapkan Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional.


Kisah Ki Hadjar Dewantara Sebelum Jadi Bapak Pendidikan: Wartawan Kritis Musuh Belanda

2 Mei 2024

Kepala Kejaksaan Tinggi Negeri Yogyakarta Tony Spontana menaburkan bunga di nisan Nyi Hadjar Dewantara dalam peringatan hari pendidikan nasional di Taman Makam Wijaya Brata, Yogyakarta, 2 Mei 2016. Upacara dan ziarah makam tersebut dihadiri ratusan siswa/i serta keluarga besar Ki Hadjar Dewantara. TEMPO/Pius Erlangga
Kisah Ki Hadjar Dewantara Sebelum Jadi Bapak Pendidikan: Wartawan Kritis Musuh Belanda

Sebelum memperjuangkan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah wartawan kritis kepada pemerintah kolonial. Ia pun pernah menghajar orang Belanda.