TEMPO.CO, Jakarta - Husein Ja'far Al Hadar, pendiri Cultural Islamic Academy, Jakarta
Saat pertama kali terpilih menjadi Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) langsung menerima kunjungan Perdana Menteri Inggris Tony Blair di kediamannya. Di sana, Blair sempat bertanya kepada Jokowi ihwal langkah pemerintahannya ke depan dalam menghadapi gerakan ekstremis yang mengatasnamakan agama.
Baca Juga:
Menjawab pertanyaan itu, Jokowi dengan tegas dan terus terang mengaku tak sepaham dengan kebijakan sebagian negara-negara Barat yang langsung mengambil jalan pendekatan militer (security approach) untuk membendung ekstremis. Menurut Jokowi, cara paling ampuh untuk menangkal gerakan-gerakan itu adalah dengan pendekatan keagamaan (religion approach) dan budaya (culture approach).
Menurut penulis, pendekatan keagamaan dan budaya merupakan dua modal besar Islam Indonesia. Jika keduanya bisa dijalankan beriringan, di samping pendekatan militer atau hukum, Indonesia berpeluang menjadi "kiblat" bagi pola keberislaman masyarakat muslim global dan penanganan ekstremisme agama.
Pertama, dalam konteks pendekatan keagamaan, Islam Indonesia memiliki corak yang berbeda dengan Islam Timur Tengah. Islam Indonesia sejak awal masuknya telah berbasis kemoderatan, bukan penaklukan. Islam Indonesia lebih kental akan nuansa dakwah berorientasi cinta-kasih dan toleransi berbasis tasawuf, yang salah satu sumber utamanya adalah Hadramaut (Yaman), bukan Arab Saudi, Irak, atau negara-negara Timur Tengah lainnya yang sejak dulu dikenal memiliki keberislaman yang berbasis dan berorientasi hukum. Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat (cendekiawan Islam Indonesia), Islam Indonesia lebih mendahulukan akhlak (dan kemaslahatan) ketimbang fikih (dan persinggungan).
Kedua, dalam konteks pendekatan budaya, Islam Indonesia sejak awal dibawa masuk dengan corak akulturatif: mengindonesiakan Islam, bukan mengislamkan Indonesia. Karena itu, Islam kemudian menjadi bagian dari tradisi Indonesia, bukan justru Indonesia dipaksa menjadi bagian dari "dinasti" Islam. Kita jeli dalam memisahkan antara ajaran Islam dan budaya Arab untuk kemudian menyerap Islamnya saja dan mengakulturasikannya dengan budaya Indonesia. Dengan demikian, sebagaimana dikemukakan sejarawan Azyumardi Azra, Islam Indonesia yang terbentuk adalah Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam): bunga-bunganya berupa budaya dan kearifan lokal Indonesia yang hampir bisa ditemui di setiap ajaran atau ritual Islam kita, dan tentunya tanpa mengubah sedikit pun substansi ajaran Islamnya. Berbeda dengan Islam Timur Tengah yang gersang.
Dua pendekatan itulah yang, walaupun telah begitu apik dan gagah disampaikan oleh Presiden Jokowi, belum terlihat dan terasa implementasinya. Justru pendekatan hukumlah yang kian tampak sedang serius digarap oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin berupa pembentukan RUU Perlindungan Umat Beragama. Tentu, pendekatan hukum itu penting sebagai perangkat perlindungan akhir bagi kasus-kasus kekerasan agama. Namun kita mendesak butuh dua pendekatan itu agar kita bukan terus menindak kasus, melainkan mengantisipasi penyebab dan akar-akar munculnya.