Presiden Joko Widodo terlihat tak berdaya menghadapi kekuatan yang ingin menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Reaksinya yang netral setelah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap polisi amatlah mengecewakan.
Jokowi semestinya paham penangkapan itu semacam balas dendam. Sebelumnya, KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap, yang membuat pengangkatannya sebagai Kepala Polri ditunda. Reaksi keras seperti itu telah terjadi sebelumnya. Setiap kali KPK hendak menyentuh petinggi kepolisian selalu berujung pada reaksi tak wajar.
Dulu, dua anggota pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dikriminalkan lewat kasus suap Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Setelah menerima protes dari publik, kejaksaan yang mendapat limpahan perkara dari kepolisian kemudian mendeponir kasus ini. Tapi akibatnya jelas: KPK menjadi jinak dan lemah.
Kini polisi nekat menangkap Bambang dan langsung menetapkannya sebagai tersangka. Kasusnya pun terkesan dicari-cari: dugaan pemalsuan kesaksian pada sidang sengketa hasil pemilihan Bupati Kotawaringin Barat pada 2010. Saat itu, Bambang menjadi pengacara salah satu calon bupati.
Polisi juga terlihat mengumbar kekuasaan: menangkap Bambang pada pagi hari sesudah ia mengantar anaknya ke sekolah, tanpa surat pemanggilan sebelumnya. Bambang bukanlah teroris atau penjahat kakap yang berpotensi melarikan diri. Ia pejabat negara yang dipilih oleh DPR dan diangkat resmi oleh Presiden RI.
Betapa berbedanya dengan perlakuan KPK terhadap Budi Gunawan. Sampai sekarang komisi antikorupsi sama sekali belum menyentuh Budi. Bahkan pemerintah juga membiarkan petinggi kepolisian ini masih menduduki jabatannya sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polri. Padahal kasus yang menjerat Budi jauh lebih serius, yakni suap. Ia juga memiliki rekening yang jumlahnya di luar kewajaran.
Jika Presiden tetap tidak berani berbuat atau tersandera oleh partai-partai pendukungnya, kepolisian tentu akan terus menjerat Bambang. Akibatnya, ia harus nonaktif dari pimpinan KPK. Praktis, anggota pimpinan KPK, yang selama ini cuma empat orang, berkurang satu lagi menjadi tiga.
Skenario itu akan menyenangkan bagi kalangan yang selama ini menginginkan komisi antikorupsi lemah. Keputusan KPK mudah dipersoalkan atau dianggap tidak sah karena diambil hanya oleh tiga anggota pimpinan. Belum lagi dampak syok yang dialami penyidik, yang mungkin membuat mereka kurang berani mengungkap lagi kasus korupsi yang besar.
Tidak sewajarnya pula dua lembaga negara dibiarkan berkelahi dan disaksikan seluruh rakyat Indonesia. Presiden Jokowi semestinya segera mencegah kehancuran KPK dengan cara mengendalikan kepolisian. Ia akan dicatat sebagai presiden yang membiarkan pelemahan KPK bila tidak bertindak tegas menyelamatkan ujung tombak pemberantasan korupsi ini.