IKTIKAD membangkitkan ekonomi kreatif di negeri ini terdengar kembali. Ini tentu kabar baik dari pemerintah Presiden Joko Widodo. Apalagi kalau kelak Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, yang dilantik Senin lalu, bisa meningkatkan ekonomi kreatif dua kali lipat dari yang sekarang seperti yang ditargetkan.
Sektor ekonomi kreatif sudah lama digadang-gadang untuk menjadi salah satu pelecut pertumbuhan ekonomi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya menumbuhkan sektor ini dengan membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun lembaga yang dibentuk pada 2004 itu seperti jalan di tempat. Industri kreatif Indonesia pada 2010 hanya menyumbang 6 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan pada 2014 naik tipis menjadi 7 persen dari PDB.
Sangat disayangkan, lembaga ini-bertentangan dengan namanya-benar-benar tak kreatif. Mereka cuma sibuk menggelar pameran, lomba, seminar, ataupun workshop. Walhasil, sektor ini tetap keteteran.
Presiden Jokowi berupaya membenahi sektor ini dengan membentuk lembaga khusus, yakni Badan Ekonomi Kreatif. Publik amat berharap institusi yang dipimpin oleh seniman ini tidak sekadar berganti nama. Apalah arti sebuah nama jika program-program yang digarap tetap mengawang-awang.
Bukan hal mudah bagi lembaga ini melahirkan program yang out of the box. Bujet lembaga ini cekak, cuma Rp 1 triliun. Pegawainya pun sebagian besar merupakan pegawai negeri sipil, yang komitmennya juga perlu diuji. Padahal ekonomi kreatif Indonesia sudah jauh tertinggal dibanding negara-negara jiran. Urusan kuliner, contohnya, Thailand punya 23 ribu lebih restoran khas Thailand di seluruh dunia. Jepang tak mau kalah, mereka memiliki 55 ribu restoran. Begitu pula Cina, Korea, dan Vietnam. Adapun restoran Indonesia, susah sekali menemukannya di luar negeri. Badan Ekonomi Kreatif harus segera membenahi industri kuliner dari hulu ke hilir.
Tiga garapan utama Badan Ekonomi Kreatif, yakni kuliner, fashion, dan musik, tak akan berhasil tanpa dukungan Presiden Jokowi dan kementerian lain. Industri musik dan fashion, misalnya, selama ini "bertempur" nyaris sendirian menembus pasar global. Di tengah pembajakan yang marak, industri musik kita diam-diam juga mulai menginvasi Malaysia.
Inilah saatnya pemerintah sungguh-sungguh menunjukkan dukungannya terhadap ekonomi kreatif. Tak ada salahnya belajar dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Korea Selatan, yang menumbuhkan K-Pop (Korean pop culture) dengan menggandeng industri dan memberikan banyak insentif. Walhasil, K-Pop menjelma menjadi hallyu (tsunami) yang menyapu seluruh dunia. Sinetron Winter Sonata, grup band Suju dan Exo, serta goyang Gangnam Style menjadi virus di mana-mana. Koran Wall Street Journal menulis, K-Pop menjadi salah satu lokomotif ekonomi karena setiap ekspor K-Pop senilai US$ 100 bisa menghasilkan multiplier effect US$ 400 di industri barang konsumen.
Peluang besar ekonomi kreatif itulah yang tak boleh disia-siakan Jokowi. Dia tak boleh mengulangi kesalahan masa lalu, yakni membentuk badan baru lalu menelantarkannya.