Target pemerintah untuk menaikkan penerimaan pajak tahun ini sebesar 30 persen boleh dibilang ambisius. Meski begitu, pemerintah yakin mampu merealisasi target itu dengan terpilihnya Sigit Priadi Pramudito sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru.
Latar belakang Sigit sebagai orang yang mengurusi wajib pajak kelas kakap akan menjadi modal penting. Saat menjabat Kepala Kantor Wilayah Pajak Besar, Sigit menangani sekitar 400 wajib pajak perusahaan besar. Angka itu setara dengan 40 persen dari total wajib pajak besar sebanyak 1.300 perusahaan. Latar belakang inilah yang makin membuat Direktorat Jenderal Pajak yakin target penerimaan bakal tercapai.
Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.484,6 triliun dalam RAPBN Perubahan 2015. Angka ini lebih tinggi Rp 104,6 triliun dibanding APBN 2015 sebesar Rp 1.380 triliun. Ini juga berarti target penerimaan dikerek naik sebesar 30 persen dibanding tahun 2014.?
Kenaikan target itu memang cukup besar. Bahkan ada yang mengatakan angka tersebut terlalu ambisius dan fantastis. Dalam sejarah anggaran negara sejak era pemerintahan Soeharto dulu, target penerimaan negara dari pajak belum pernah dipatok setinggi itu. Maka, tak mengherankan pula, melihat lonjakan yang ambisius itu, muncul pertanyaan bernada skeptis: mampukah Dirjen Pajak mewujudkannya? Skeptisisme itu juga didorong oleh rekor penerimaan sebelumnya yang tidak terlalu menjanjikan. Sepanjang periode tahun anggaran antara 2002 dan 2014, pemerintah hanya sekali mampu mencapai target, yakni pada 2008.
Melihat fakta-fakta ketidakberhasilan mencapai target penerimaan pajak selama beberapa tahun terakhir, target pemerintah untuk menaikkan penerimaan sebesar 30 persen tahun ini tentu merupakan langkah yang tidak mudah. Untuk menggenjot penerimaan pajak sebesar itu, jelas dibutuhkan upaya ekstrakeras.
Dirjen Pajak yang baru diharapkan mampu membuat gebrakan agar target tercapai, atau sekurang-kurangnya tidak meleset terlalu jauh. Ada dua faktor yang selama ini menyebabkan target penerimaan pajak jauh panggang dari api. Pertama, tingkat kepatuhan pajak yang buruk. Kedua, penegakan hukum terhadap para penunggak dan pengemplang pajak yang masih lemah.
Dirjen Pajak harus mengubah sistem pembayaran pajak agar lebih mudah dan terkontrol. Langkah tegas wajib dilakukan dalam pemeriksaan perpajakan. Ini karena masih banyak badan usaha atau perusahaan yang sengaja "lalai" membayar pajak. Saat ini pemerintah mengindikasikan ada sekitar 4.000 perusahaan yang tak pernah membayar pajak. Alasan klise yang sering dipakai adalah usahanya selalu merugi.
Penertiban hukum terhadap para penunggak dan pengemplang pajak harus ditegakkan. Caranya bisa melalui gijzeling (paksa badan) dan moratorium Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan beberapa negara. Karena itu, Dirjen Pajak harus segera melakukan gebrakan jika memang serius ingin mengamankan pundi-pundi penerimaan dan meningkatkannya tahun ini.