TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Bagus Irawan, Warga Jepara. Alumnus UIN Walisongo Semarang
Keberagamaan di Indonesia sedang darurat harmoni. Munculnya berbagai spanduk anti-Syiah di berbagai daerah menambah panjang rentetan kriminalisasi kelompok agama minoritas. Ada agenda terselubung yang dikait-kaitkan dengan sokongan dana berlimpah dari luar negeri, untuk menimbulkan konflik agama di Indonesia. Tak ayal, terjadinya baku hantam di Masjid Az-Zikra Sentul pimpinan Ustad Arifin Ilham, beberapa pekan lalu, adalah percikan awal.
Baca Juga:
Menilik sejarah, kita tahu bahwa selama ini bara kekerasan konflik beragama di negeri ini berasal dari pemanfaatan doktrin agama sebagai etos kerja. Konflik terjadi karena ada faktor "mahar" atau "proyek" yang didenominasi oleh kekuatan politik tertentu. Banyak organisasi masyarakat militan yang bermain di sini, bahkan sebagian mereka disokong oleh kekuatan penegak hukum. Dengan kata lain, konflik agama adalah buah transaksional belaka.
Faktanya, agama bagi pemeluknya memiliki dua sifat: teologis dan sosiologis. Teologis berhubungan dengan fatsun normatif yang telah dipegang teguh dan diwarisi secara turun-temurun (ultimate value). Ini berhubungan dengan keyakinan terhadap kekuatan supernatural yang bersifat gaib dan memiliki landasan berupa teks dalam kitab suci (written text). Adapun agama sosiologis diatribusi terhadap sikap pemeluk agama di tengah kehidupan sosial yang merupakan bentuk interpretasi atas teks suci dan menghasilkan teks-teks sosial (social text). Harmoni sebagai wujud dari agama ramah lingkungan, hadir dari rahim kedua. Hal itu adalah ikhtiar manusia sebagai pemegang mandat Tuhan sekaligus makhluk sosial, yang idealnya bergotong-royong secara damai dan toleran.
Kita lihat bagaimana keharmonisan di Jepara. Faktor kesejahteraan ekonomi dan kestabilan politik menjadi kunci utama. Lebih spesifik lagi, masyarakat Desa Bondo, secara statistik agama Islam menjadi mayoritas dengan catatan 59 persen, Kristen 40 persen, dan 1 persen agama lain. Kendati Islam dominan, keberagamaan benar-benar dijalankan sebagai motor perdamaian. Ketika ada salah satu warga meninggal, baik dari muslim maupun non-muslim, mereka berbaur bersama bergotong-royong tanpa diskriminasi. Begitu juga ketika ngajekno (pengajian kematian dalam tradisi Islam) atau panglipuran (pengajian kematian dalam tradisi Kristen). Meskipun pengajian dipimpin oleh tokoh agama masing-masing, kedua kelompok ini melebur menjadi satu. Spanduk anti-Syiah pun tak ada di Jepara, karena paham Syiah juga berdampingan secara harmonis dengan kelompok mayoritas semisal NU dan Muhammadiyah.
Tingginya tingkat toleransi masyarakat Desa Bondo juga terlukis dari kesediaan mereka untuk menjaga sisi teologis pemeluk agama lain. Ketika salah satu warga Kristen punya hajatan (mengadakan pesta pernikahan atau lainnya), modin (pemimpin agama Islam dalam struktur organisasi desa) diminta untuk menyembelih sapi atau kambing yang akan disajikan dalam hajatan. Sebab, dalam ideologi Islam, seorang muslim harus memakan makanan yang halal, yang salah satu syaratnya adalah disembelih seorang muslim dengan mengikuti ketentuan yang telah digariskan oleh syara'.
Harmoni bisa diciptakan manakala kebijakan sosial mendukung hal tersebut. Pesan harmoni dari Jepara ini barangkali bisa jadi refleksi teologis-sosiologis bagi bangsa Indonesia.