Bandung Mawardi, Esais
Kita memiliki cara mengenang dan menghormati tokoh dengan pembuatan hari-hari peringatan. Semula, Megawati Soekarnoputri (2003) merestui peringatan Hari Musik Nasional (HMN) diadakan setiap 9 Maret, mengacu tanggal kelahiran W.R. Soepratman (9 Maret 1903). Restu itu dilanjutkan SBY melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013. Sekarang, kita memiliki ekspresi untuk memperingati HMN, mengacu ke ingatan sejarah atau kemauan memuliakan musik di Indonesia.
Kita ingin mengurusi ketokohan W.R. Soepratman (1903-1938) dalam peringatan HMN. Pencipta lagu itu tak sempat menjadi saksi dari lantunan lagu Indonesia Raja, setelah pembacaan teks proklamasi, 17 Agustus 1945. Indonesia Raja itu ekspresi melagukan Indonesia, sejak 1928. Sukarno bersama para pemimpin pergerakan kebangsaan menganjurkan lagu Indonesia Raja dikumandangkan di gedung pertemuan, sekolah, dan lapangan demi capaian kemerdekaan Indonesia (B. Sularto, 1993). Pada masa 1930-an, lagu ini semakin menjadi ekspresi politik melawan kolonial.
Kebermaknaan lagu Indonesia Raja mendapat pengakuan secara politik, estetika, dan kultural. J.A. Dungga dan L. Manik dalam buku berjudul Musik di Indonesia dan Beberapa Persoalannja (1952) menjelaskan bahwa “lagu kebangsaan kita Indonesia Raja adalah getaran djiwa bangsa Indonesia seluruhnja, tjiptaan bangsa Indonesia bersama.” Peran W.R. Soepratman membuktikan bahwa kerja bermusik sanggup membesarkan ide-imajinasi Indonesia. W.R. Soepratman cenderung sebagai “seorang petjinta tanah air-nasionalis” ketimbang “penjair-komponis.” Sejak masa 1940-an, perbincangan tentang W.R. Soepratman dan Indonesia Raja berlangsung seru, melibatkan pendapat-pendapat Sukarno, Muhammad Yamin, Cornel Simandjuntak, Kusbini, Ibu Soed, dan Ki Hadjar Dewantara.
Selama puluhan tahun, kita selalu melantunkan Indonesia Raja dalam pelbagai acara. Warisan itu awet. Lagu menjadi penjelasan kemauan mencapai dan memaknai kemerdekaan. Lagu menggenapi agenda mencipta Indonesia dengan bahasa, senjata, busana, novel, puisi, partai politik, dan doa. W.R. Soepratman menjadi simbol ikhtiar melagukan Indonesia. Kita mengakui bahwa lagu memungkinkan pelipatgandaan imajinasi dan semangat di kalangan pergerakan kebangsaan. Lagu pun menjadi momok bagi kolonial. Lagu merdu mengalahkan suara-suara peluru dan bentakan-bentakan para pejabat kolonial. Lagu perlahan menjadi dalih bagi penguasa untuk menekan dan menghukum kaum pergerakan kebangsaan.
Oerip Kasansengari dalam buku berjudul Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raja (1967) memberi pujian: “Musik jang digubah Soepratman memang penuh irama keindahan dan alam Indonesia.” Lagu Indonesia Raja mengejawantahkan “kesadaran nasional jang kuat dan abadi.” Penghormatan diberikan pemerintah dengan meresmikan Indonesia Raja sebagai lagu kebangsaan Indonesia, dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raja Warisan W.R. Soepratman—yang semakin menguatkan kemauan mengartikan Indonesia, dari masa ke masa.
Sekarang, kita terus mengenang W.R. Soepratman dan melagukan Indonesia Raja. Kita berharap lagu terus dilantunkan oleh presiden, menteri, polisi, hakim, legislator, dan seniman agar Indonesia tak selalu menjadi “orkes sumbang” akibat lakon-lakon korupsi, kriminalisasi, pembajakan lagu, dan pembegalan. *