Berharap polisi menindak tegas anggotanya yang menerima suap liar tak ubahnya seperti menggantang asap. Tak mungkin Kepolisian mencoreng mukanya sendiri.
Kasus suap liar ini terungkap setelah akun Ray Hendriks mengunggah video di kanal YouTube. Dalam video yang direkam pada 15 Januari 2015 pukul 17.00-18.00 WIB itu, tergambar kernet bus Kopaja turun dari bus dan menaruh uang di pos polisi. Bus pun bebas memutar balik di bundaran HI, hal yang semestinya dilarang.
Kasus seperti itu dengan mudah disaksikan di berbagai sudut Ibu Kota. Pelanggaran lampu lalu lintas, penerobosan jalur searah atau jalur busway, hanyalah beberapa contoh ketika polisi lebih suka menerima sogokan ketimbang menilang para pelanggar. Suap juga masih merajalela dalam pengurusan surat izin mengemudi.
Di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi, inilah momentum yang tepat untuk memperbaiki citra korps baju cokelat tersebut. Jangan sampai kasus ini kian memperburuk citra polisi, yang jatuh ke titik nadir pasca-kasus perseteruan Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang acap disebut "cicak vs buaya jilid dua" ini.
Para penerima sogokan ini tidak hanya harus dipecat, tapi juga mesti diajukan ke pengadilan. Mereka bersalah karena tidak menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dan malah mengangkanginya. Mereka juga bisa dijerat dengan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menerima suap.
Kepolisian juga harus menelusuri kasus suap liar ini karena mustahil pemimpin mereka di kantor tak tahu soal maraknya praktek busuk ini. Bukan tidak mungkin duit suap yang sebetulnya tak seberapa itu menggunung setelah dikumpulkan dan kemudian dibagi-bagikan, termasuk kepada pimpinan polisi di semua level.
Praktek lancung ini sudah pasti sulit diberantas. Perkara Budi Gunawan, yang dinyatakan bersih oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI dalam kasus rekening gendut, bisa menjadi contoh. Kasus rekening gendut yang lain juga menguap, padahal KPK sudah menemukan adanya pelanggaran UU Korupsi.
Apalagi kasus suap seperti ini tidak hanya terjadi di jalanan. Kita sering mendengar perlu suap hingga puluhan juta rupiah untuk masuk ke sekolah-sekolah kepolisian. Suap diduga juga marak dalam proses mutasi, rotasi, dan promosi di Kepolisian. Sebagian besar polisi kita sudah "terbiasa" dengan berbagai modus sogokan ini.
Semestinya Kepolisian berusaha keras mengambil hati masyarakat. Kepolisian harus membuktikan bahwa mereka ingin menjadi "sapu" yang bersih. Banyak praktek baik yang bisa dicontoh, salah satunya Hong Kong. Negara itu membentuk Komisi Anti Korupsi dan pembersihan dimulai dari kepolisian. Kini, Hong Kong tercatat sebagai negara terbersih ke-12 di dunia dalam hal korupsi.
Tentu saja sulit mengharapkan kepolisian menyerahkan acara bersih-bersih ini ke KPK. Hubungan keduanya saat ini sedang memanas. Kepolisian bisa membentuk satuan tugas khusus untuk mengikis habis praktek lancung ini dan akan lebih baik jika melibatkan masyarakat sipil. Selain itu, di Indonesia masih banyak polisi yang baik. Mereka bisa menjadi role model bagi yang lain.