Presiden Joko Widodo seharusnya malu melihat jajarannya begitu lembek menerapkan hukum terhadap Labora Sitorus. Mantan polisi yang telah divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung itu tidak mendekam di bui. Dia bebas bersantai di tempat tinggalnya di Distrik Sorong Barat, Papua Barat.
Meski dulu, saat bertugas di kepolisian, ia hanya kroco, cuma berpangkat brigadir kepala, Labora benar-benar the untouchable. Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Kehakiman sampai kemarin tak bisa mengeksekusi Labora. Kepala Kepolisian Papua Barat Brigadir Jenderal Paulus Waterpauw pernah berjanji mengerahkan 630 personel untuk menangkap Labora. Faktanya, sudah enam bulan, buron itu hidup santai di area pabriknya, PT Rotua, dijaga beberapa pengikutnya. Mengapa polisi dan aparat Kejaksaan jeri terhadap beberapa gelintir penjaga Labora?
Labora, yang dihukum karena kasus pencucian uang serta penimbunan kayu dan bahan bakar minyak, berkukuh bahwa dirinya bukan buron lantaran mengantongi surat bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sorong pada 24 Agustus 2014.
Labora boleh berdalih apa saja, tapi surat bebas atau habisnya masa penahanannya tidak relevan lagi. Soalnya, ia telah divonis dengan hukuman yang jauh lebih lama daripada masa tahanan yang telah dijalaninya.
Ditahan sejak 17 September 2013, Labora divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sorong lima bulan kemudian. Pemilik rekening Rp 1,5 triliun ini kemudian dihukum 8 tahun penjara di tingkat banding. September lalu, Mahkamah Agung memperberat hukuman Labora menjadi 15 tahun. Vonis inilah yang belum bisa dieksekusi.
Kejaksaan dan Kepolisian saling lempar tanggung jawab soal ini. Alih-alih memerintahkan eksekusi paksa, Jaksa Agung M. Prasetyo malah mengimbau Labora menyerahkan diri. Apa yang ditunggu Jaksa Agung Prasetyo? Labora jelas-jelas melakukan perlawanan. Mengapa urusan sebesar kasus Labora ini dibiarkan berlarut-larut? Bandingkan kasus Labora dengan kasus remeh, Feriyani Lim meminjam alamat rumah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad untuk mengurus paspor. Aparat sigap turun tangan.
Semestinya kasus Labora ini tak hanya ditangani dengan cepat, tapi juga menjadi pintu masuk untuk mengusut para bekingnya. Labora mengaku kerap diperlakukan para atasannya sebagai mesin pengeruk uang atau "ATM". Ia mengisahkan, suatu hari Kepala Polres Raja Ampat Ajun Komisaris Besar Taufik Irfan datang ke Sorong meminta sumbangan untuk diberikan kepada Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Tito Karnavian di Jayapura. Dia pun memberikan Rp 600 juta di dalam tas.
Saat dia ditahan, juga ada petinggi polisi yang disebut Labora mengambil harta perusahaannya, berupa 119 kontainer senilai Rp 24,7 miliar. Kontainer itu dilelang dengan nilai Rp 6,5 miliar. Jadi, Rp 18,2 miliar itu ke mana? Para beking Labora itu belum tersentuh hukum. Jika beking ini ikut dijerat, kasus Labora tak akan berlarut-larut.
Sikap lemah pemerintah Jokowi ini semakin membikin publik bersikap skeptis terhadap penegakan hukum. Janji manis Jokowi semasa kampanye, berupa Nawacita, kini seperti tak berbekas.