Sudah berkali-kali anggota Dewan Perwakilan Rakyat berupaya memangkas wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kali ini mereka mencoba lagi dengan berancang-ancang merevisi Undang-Undang KPK. Rencana DPR ini harus lebih diwaspadai karena bisa saja mereka sudah menyiapkan cara yang lebih jitu setelah sebelumnya tak berhasil.
Manuver politikus Senayan itu dimulai dengan memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam Program Legislasi Nasional periode 2015-2019. Sasaran perubahan undang-undang ini pun sama dengan politikus periode sebelumnya. Mereka ingin menata lagi wewenang KPK dalam hal penyadapan hingga pembekuan rekening tersangka kasus korupsi.
DPR seolah memanfaatkan kesempatan di tengah kesulitan KPK. Situasinya mirip, yakni ketika KPK sedang berkonflik dengan kepolisian. Dulu ada friksi "Cicak vs Buaya" pada 2009, kini muncul kisruh Budi Gunawan, calon Kepala Polri yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK. Kasus Budi memicu konflik karena seakan-akan dibalas dengan kriminalisasi pimpinan komisi antikorupsi. Sikap politikus Senayan juga tak berubah: justru ikut menyerang KPK dengan mempersoalkan besarnya wewenang lembaga ini.
Sulit untuk tidak melihat manuver itu sebagai upaya melemahkan, bahkan melumpuhkan, KPK. Lembaga ini tidak akan bergigi lagi bila wewenang menyadap dihilangkan. Komisi antikorupsi akan susah membongkar korupsi besar, apalagi melakukan operasi tangkap tangan, bila tidak bisa menyadap. Kalangan anggota DPR tentu akan berupaya memperhalus upaya pemangkasan wewenang itu dengan cara memperketat prosedur penyadapan, misalnya harus meminta izin ketua pengadilan. Tapi efeknya bagi KPK akan sama saja.
Begitu pula rencana memberi KPK wewenang menyetop penyidikan. Hal ini hanya akan membuat KPK menjadi mudah ditekan oleh pihak luar yang menghendaki agar kasusnya tidak dilanjutkan. Lembaga ini akan semakin lemah pula bila tidak memiliki wewenang membekukan rekening, seperti yang diusulkan politikus Senayan. Proses penyidikan korupsi dan pencucian uang akan sulit dilakukan bila KPK tak boleh membekukan rekening.
Usul soal perlunya lembaga pengawas KPK juga mengada-ada karena selama ini komisi antikorupsi sudah memiliki mekanisme yang andal buat mengoreksi kesalahan pimpinan. KPK bisa membentuk komite etik. Lembaga pengawas permanen, apalagi kalau diberi wewenang yang besar, hanya akan membuat pimpinan KPK bekerja dalam tekanan. Lembaga seperti itu juga bisa menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengintervensi perkara.
Politikus Senayan dan pemerintah seharusnya tidak perlu takut terhadap wewenang KPK yang cukup besar. Jika tidak menyalahgunakan wewenang atau korupsi, tentu saja mereka tidak akan berurusan dengan komisi antikorupsi. Keinginan mempreteli senjata utama KPK justru memperlihatkan komitmen mereka yang rendah dalam upaya memerangi korupsi.