Ketika Ka dibunuh di sebuah jalanan Frankfurt, siapakah dia sebenarnya? Seorang pengkhianat, atau seorang yang bersalah hanya karena ia tak jelas, juga bagi dirinya sendiri? Ataukah seorang korban dari konflik yang melukai Turki bertahun-tahunkarena kata "sekuler" dan "Islam" begitu panas dan eksplosif dan begitu banyak orang terkoyak?
Tapi baiklah saya perkenalkan dulu siapa Ka. Ia lelaki jangkung berumur 42 tahun yang pemalu, belum menikah, dan menulis puisi. Nama sebenarnya Kerim Alakusoglu, tapi sejak di sekolah ia menolak dipanggil demikian. Ia tokoh utama novel Orhan Pamuk Kar (dalam versi Inggris, Snow), seorang yang, kata sang empunya cerita, hidup 12 tahun lamanya di Jerman dan pada suatu hari kembali ke Istanbul ketika ibunya meninggal. Dari Istanbul, ia memutuskan pergi ke Kars.
Tak jelas betul sebenarnya, juga bagi dirinya sendiri, apa yang mendorongnya ke kota udik dan melarat di timur laut di perbatasan dengan Armenia itu. Ia, yang dibesarkan di Istanbul di keluarga yang tak kenal kemiskinan, mungkin berniat pergi "untuk memberanikan diri memasuki dunia lain nun di sana".
Atau mungkinkah ia ke Kars untuk menemui kembali Ipek, teman kuliahnya yang cantik, yang pulang ke kampung halaman, menikah dan kemudian bercerai dari suaminya? Ia malu mengakui ini. Ia punya alasan lain yang dikemukakannya ke semua orang: ia datang untuk menulis tentang sebuah peristiwa ganjil, yakni sejumlah gadis Kars yang secara berturut-turut bunuh diri di kota itu. Ia menulis untuk harian Republik.
Di awal novel, kita ikuti ia naik bus pada suatu petang yang kian putih. Salju tak berhenti-hentinya turun sampai menjelang novel berakhir, sampai semua jalan Kars tertutup olehnya. Di kota berpenghuni 80 ribu yang terjepit itu Ka menemui banyak orang, tempat ia bertanya atau menjawab, takut atau berharap. Kars adalah tuas dalam hidupnya, antara yang lama dan yang baru.
Seperti disebut di awal, ia mati di negeri asing. Ia juga mati praktis tanpa konklusi, tak jelas dibunuh oleh siapa. Bahkan di bagian penutup novel ini perannya digantikan oleh sang pengarang, Orhan, yang ingin menulis tentang mendiang penyair sahabatnya itu. Sementara itu hidup berlangsung terus di Kars dengan kenangan yang terpotong-potong tentang kunjungan pada hari-hari bersalju itu.
Akhirnya Kars, dan bukan Ka, yang bergaung kembali ketika novel tamat. Yang membekas di ingatan kita bukanlah biografi seorang tokoh, tapi riwayat sebuah Turki di perbatasansebuah perbatasan antarnegeri, juga antarsejarah dan pelbagai harapan besar. Setidaknya sebuah Turki pada awal tahun 1990-an. "Di Kars," kata Orhan Pamuk dalam sebuah wawancara, "kita secara harfiah dapat merasakan kesedihan yang timbul karena jadi bagian dari Eropa dan sekaligus dari kehidupan bukan-Eropa yang keras dan pas-pasan."
Di celah dan di bawah kontradiksi yang menyedihkan itu anomali jadi yang lumrah, hal yang luar biasa seakan-akan sesuatu yang wajardan Orhan Pamuk mengisahkan semua ini dengan kalimat yang datar, semacam lelucon yang kering dan gelap: di sini terbit sebuah koran lokal yang dapat menuliskan satu berita sebelum peristiwanya terjadi, termasuk terbunuhnya aktor Sunay di pentas. Di sini sejumlah anak perempuan berjilbab tiba-tiba bunuh diri berturut-turut, tapi orang tak pasti kenapa. Di sini seorang direktur lembaga pendidikan yang "sekuler"yang melarang murid-murid memakai jilbabmerekam percakapan terakhirnya dengan pembunuhnya, seorang "Islamis". Di sini sebuah kudeta militer dan pembantaian berlangsung seakan-akan bagian dari sebuah pertunjukan yang mementaskan lakon "Tanah Airku atau Jilbabku". Di sini bersembunyi seorang buron yang dianggap berbahaya, tapi pertemuannya dengan Ka di tempat rahasia ia tutup dengan hikayat tentang pendekar perang bernama Rstem.
Di Kars, di antara fiksi dan fakta, realitas dan imajinasi, hidup menutupi luka-lukanya. Kekerasan dan kematian terjadi seakan-akan bagian dari sejarah yang diimlakkan dari jauh, dan tiap nasib seperti seserpih salju yang melayang. Akhirnya salju hadir seakan-akan sebuah perumpamaan bagi hidup kota yang miskin itu, kota yang berharap antara semangat "sekuler" Attaturk dan semangat "Islamis" yang melawannya: salju adalah warna putih yang mengandung janji untuk tak bernoda, tapi tak seterusnya bisa; bahkan ia jadi kebekuan yang akhirnya memblokir semua jalan.
Walhasil, nada dasar kisah Orhan Pamuk adalah hzn, kata Turki untuk "melankoli". Kalimat penghabisan Snow berbunyi: "Seraya memandangi salju terakhir yang menutupi atap-atap rumah dan pita asap tipis yang bergetar naik dari cerobong pabrik yang patah, aku mulai menangis".
Adakah itu berarti, di Kars, di Turki, juga setelah salju cair, jalan tetap buntu? Mungkin. Melankoli itu berlanjut dalam buku Orhan Pamuk yang kemudian, serangkai potret tentang Istanbul yang dikenalnya sejak anak-anak. Di sana ia menulis: "Terpukau keindahan kota ini dan Selat Bosphorus, orang akan diingatkan akan perbedaan hidupnya sendiri yang papa di hari ini dengan kejayaan yang membahagiakan di masa lampau."
Tapi masa lalu itu tak bisa diulangi, betapapun kerasnya niat mereka yang ingin melikuidasi Turki modern yang dibawa oleh Kemal Attaturk. Sementara itu masa depanjika itu berarti "Eropa"kian terasa menyakitkan: ia sebuah hasrat yang di Eropa sendiri ditampik. Sebagian dari orang Prancis dan Belanda yang berkata "Tak!" kepada rancangan konstitusi Eropa adalah mereka yang juga berkata "Tak!" kepada kemungkinan Turki masuk ke perserikatan negeri-negeri yang lazim disebut "Barat" itu.
Mungkin Blue benar, atau separuhnya benar. Si radikal yang dulu hidup di Jerman dan kemudian mati ditembak tentara di Kars itu berkata kepada Ka: "Sering kali bukan orang Eropa yang meremehkan kita. Yang terjadi ketika kita menatap mereka adalah kita yang meremehkan diri sendiri."
Goenawan Mohamad