Dari mana datangnya dosa? Dosa ada karena ada larangan, dosa ada karena hukum, dosa ada karena (setelah hukum diberlakukan dan diterima) disadari sebagai kesalahan.
Pernah ada masanya perempuan-perempuan di Bali berjalan leluasa tanpa menutup buah dada mereka. Tapi kemudian pemerintahan kolonial Belanda dan agama Kristen datang, dan kedua kekuasaan ituyang karena perkembang-an sejarah dapat mengambil peran sebagai otori-tasme-nentu-kan bahwa buah dada adalah sesuatu yang harus ditutupi. Sejak itu, tidak menutup buah dada adalah sebuah kesalahan, dan bahkan akhirnya orang Bali, mungkin terpaksa, berangsur-angsur menerima hukum itu. Buah dada terbuka berarti dosa.
Demikianlah: larangan datang sebelum dosa dan bukan sebaliknya. Agama-agama kemudian membuat kata "dosa" dan "larangan" seakan-akan sesuatu di luar sejarah ma-nusia. Kita yang alim cenderung memba-yang-kan, bahwa hukum tentang mana yang berdosa merupakan sesuatu yang kekal, tak bermula pada satu titik waktu di dunia. Kita jarang bertanya: sebelum cerita Musa turun dari Gunung Tursina dengan membawa sepuluh perintah Tuhan yang terpahat pada loh batu, apa sebenarnya yang disebut dosa?
"Terpisah dari hukum, dosa tergeletak mati," tulis Slavoj Zizek. "Pernah aku hi-dup ketika terpisah dari hukum, tapi ketika perintah itu datang, dosa hidup kembali dan aku mati."
Jika dosa "hidup kembali" justru karena hukum dan larangan, buat apa sebenar-nya hukum dan larangan? Jika hukum dan larangan, seba-gaimana kata-kata yang terpahat di loh batu itu, adalah sesuatu yang mandek dan mati, apa gunanya mereka bagi kehidupan?
Zizek tengah berbicara tentang psikoanalisis: ia melihat bahwa sejak hukum digariskan dan larangan ditentukan, subyek terpecah. Di satu pihak, timbul kepatuhan (yang sadar) kepada hukum. Di lain pihak, bangkit hasrat (yang tak sadar) untuk menabrak aturan itu. Yang dilarang pun jadi obyek keinginan: jika buah dada harus ditutupi, berarti ia sesuatu yang sangat menarik. Apabila majalah Playboy diributkan, berarti ia layak dilihat atau diintip.
Maka hukumlah yang "membuka dan mempertahankan wilayah dosa", kata Zizek pula. Tapi paradoks tak berhenti di situ. Sang penyusun hukum menegakkan hukum agar ia merasa nikmat ketika dapat membuat orang merasa berdosa karena melanggar. Sementara itu, si pelanggar dapat me-rasa-kan nikmat mencicipi sesuatu yang membuatnya me-rasa berdosa.
Apabila demikian halnyasebuah cerita kenikmatan dari si pembuat hukum dan si pelanggar aturandosa bukanlah sesuatu yang akan dihabisi. Lagi pula ia mustahil dihabisi.
Hukum, juga yang dikatakan datang dari Langit, selama-nya mempunyai dimensi politik dan kekuasaan manusiawi. Dari pahatan di loh batu yang ditorehkan Musa di Gunung Tursina itu orang-orang Yahudi mendapatkan pegangan dan aturan, dan dari sana sebuah komunitas berjalan, hingga akhirnya kerajaan terbentuk. Gereja tak akan berdiri kalau tidak hendak menegakkan ketentuan apa yang boleh dan apa yang tidak. Perintah yang diturunkan di Madinah hadir bersama berjalannya sebuah bangunan kekuasaan di bawah Rasulullah.
Di dalam proses itu, dosa pun ditarik ke luar dari sebuah dunia privat menjadi bagian dari dunia publik. Orang tak cukup mengakui dosa kepada Tuhan; ia harus mengakui dosa di depan yang berkuasa di bumi. Pada gilirannya, yang berkuasa di bumi akan memegang tampuk kekuasaan yang merasa mampu meniadakan batas dunia privat dan dunia publik.
Tapi benar mampukah? Benar mampukah polisi dan jaksa dan hakim meniadakan batas itu, merogoh apa yang ada di dalam lubuk hati seseorangsesuatu yang bahkan orang itu sendiri sering tidak tahu? Tidakkah yang selamanya terjadi adalah sesuatu yang sering disebut kemunafikan: aku menaati aturan dosa dan tak dosa di muka umum, tapi aku menjalankan yang dilarang di duniaku yang tak terjangkau mata publik?
Ada "politik keyakinan" dan ada "politik ketidakpastian". Dikotomi ini saya pakai de-ngan mengubah sedikit analisis Michael Oakeshott dalam The Politics of Faith and the Politics of Scepticism. "Politik keyakinan" bergerak dengan asumsi dan ambisi bahwa kekuasaan manusia dapat mengubah sebuah masyarakat dengan menetapkan "pola ke-giatan yang komprehensif bagi komunitas". Peran pemerintah dianggap dapat mengatur sampai rinci perilaku warga negara dan pendudukdari cara berdagang sayur sampai cara memakai celana, dari seni lukis sampai hubungan kerja.
Para pendukung "politik keyakinan" percaya, konsep yang benarapalagi yang datang dari teori yang "ilmiah" atau yang berdasarkan Sabda Tuhanakan mengakibatkan sebuah masyarakat berada di jalan yang lurus di mana dunia yang privat pun terjangkau untuk diperbaiki. Calvin di Jenewa pada abad ke-16 pernah mencobanya, begitu juga Mao Ze-dong dan Ayatullah Khomeini pada abad ke-20.
Tak satu pun telah membuktikan, bahwa mereka berhasil. "Politik ketidakpastian" justru yang menunjukkan, bahwa manusia adalah makhluk yang menimbulkan pelbagai pertanyaan, dan tiap pertanyaan tak dengan sendirinya bisa dijawab, apalagi oleh hukum. Berabad-abad setelah Musa turun dengan loh batu itu, berabad-abad setelah hukum dipertegas dan dosa bisa didaftar, masih acap kali datang seorang yang membawa lentera di siang hari dan menga-ta-kan, "Aku mencari manusia."
"Politik ketidakpastian" adalah jawaban, bahwa manusia selamanya ada, nun di situ, di sebuah ruang, di suatu waktu, yang bisa berubah, dan akan berubah, di atas bumi, di bawah langit, bersama yang fana dan yang mungkin kekal.
Goenawan Mohamad