Umbu T.W. Pariangu, dosen Fisipol Undana, Kupang
Dalam sidang paripurna pengesahan APBN Perubahan 2015 pada Februari lalu, disebutkan para wakil rakyat bakal diguyur dana aspirasi anggota DPR RI sebesar Rp 1,78 triliun per tahun (Rp 150 juta per tahun atau Rp 12,5 juta per bulan). Dana tersebut dialokasikan untuk biaya sewa rumah dan keperluan operasional Rumah Aspirasi, yang diharapkan akan memperkuat peran representasi anggota DPR di daerah pemilihan masing-masing.
Tak sedikit yang menganggap gelontoran dana tersebut berpotensi menjadi celah korupsi, mengingat dana serupa tahun-tahun sebelumnya selalu gagal dikelola dengan akuntabel. Banyak Rumah Aspirasi di daerah pemilihan hanyalah rumah kosong tanpa aktivitas. Kalaupun ada pertemuan dengan konstituen, itu hanya insidental atau sekadar proforma. Mereka beralasan jumlah staf administrasi maupun staf ahli kurang, juga dana operasionalisasi kurang. Selain itu, karena mereka kian kewalahan menerima proposal permintaan bantuan, dari soal keuangan, keperluan sosial, pendidikan, hingga keagamaan.
Padahal, jika merujuk ke dana reses senilai Rp 150 juta untuk biaya menyambangi konstituen, ditambah tunjangan rutin per bulan Rp 8,5 juta sebagai dana penyerapan aspirasi, belum lagi ditotal dengan gaji senilai kurang-lebih Rp 787 juta per tahun --bahkan Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) bersama IMF (2013) pernah menggolongkan gaji anggota DPR kita adalah yang tertinggi ke-4 di dunia--plus penghasilan “nyambi”, jumlah tersebut semestinya lebih dari cukup untuk membantu Dewan menjalankan fungsi artikulasi dan penyerapan aspirasi di daerah-daerah.
Dana Rumah Aspirasi kian ganjil jika menyimak dasar hukumnya, yaitu Peraturan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2014. Aturan ini ternyata bertentangan dengan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang sama sekali tak mencantumkan klausul perihal Rumah Aspirasi. Pasal 69 ayat (2) UU No. 17/2014 tentang MD3 hanya menyebutkan ketiga fungsi anggota Dewan (fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
Namun representasi rakyat ini tak serta-merta merujuk pada dana aspirasi. Memang dalam Pasal 210 ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib disebutkan anggota DPR dapat membuat Rumah Aspirasi untuk membuka ruang partisipasi publik, namun tidak dijelaskan lebih detail bagaimana mekanisme operasionalnya.
Oleh DPR, anggaran Rp 1,78 triliun dianggap masih kurang, meskipun dana aspirasi meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2014, misalnya, anggaran penyerapan aspirasi rakyat mencapai Rp 994.904.572.000 atau Rp 1,7 miliar per anggota DPR per tahun. Bahkan anggaran reses DPR untuk 2014 tersebut meningkat hampir 44 persen dari tahun 2013, yakni sebesar Rp 678.431.305.000.
Sayangnya, jumlah tersebut tak berbanding lurus dengan kinerja mereka. Sesuatu yang oleh publik masih dianggap utopia sampai kini. Kalau benar, bahwasanya dana aspirasi hanya modus “politik balas budi” kepada rakyat yang telah memberikan suara dalam pemilu, maka kian teranglah intensi para politikus Senayan untuk menjadikan dana aspirasi sebagai barang bancakan untuk kepentingan diri/kelompok. *