Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Negara Membiayai Partai, Mungkinkah?

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic & Democracy Studies (CEDES)

Bukan rahasia lagi bahwa  demokrasi yang digulirkan sejak Reformasi 1998 telah bermetamorfosis menjadi demokrasi kriminal. Proses yang dilalui adalah demokrasi prosedural yang hanya sibuk pilih-memilih orang setiap lima tahunan. Lalu demokrasi transaksional yang penuh denganpolitik bermain uang dan berbagai kecurangan. Kemudian terdampar menjadi demokrasi kriminal yang mengantarkan para pelakunya pada pelanggaran hukum.

Demokrasi yang sebelumnya digadang-gadang bakal memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, ternyata justru membuat tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara di negeri ini makin babak-belur. Mahalnya biaya politik telah menyulap para politikus dan pejabat publik menjadi para bandit penjarah uang negara. Tidak berlebihan bila tiga pilar demokrasi di Indonesia telah terpeleset menjadi"executhief", "legislathief",dan"yudicathief".

Barangkali itu sebabnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melemparkan wacana pembiayaan partai politik melalui APBN. Tidak tanggung-tanggung, angka yang disorongkannya adalah Rp 1 triliunan untuk setiap partai. Logika yang diusungnya, dengan mendapat gelontoran dana superjumbo itu, partai tidak lagi "menugasi" kadernya di tiga pilar demokrasi tadi untuk menangguk dana. Dengan begitu, korupsi yang selama ini menggurita dari hulu sampai hilir bisa diredam, syukur-syukur dapat dikikis sampai titik terendah.

Keruan saja, wacana Tjahjo itu segera menyulut pro-kontra. Tapi yang menarik adalah, sebelum mantan Sekjen PDIP itu melontarkan wacana pembiayaan partai oleh APBN, Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, sudah melontarkan gagasan serupa jauh sebelumnya. Paling tidak, ide itu disampaikannya saat menyampaikan pidato kebudayaan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, awal Mei 2011.

Dalam kesempatan itu, dia mengatakan, agar sistem demokrasi sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat dan tidak dibajak oleh kekuatan uang, perlu dilakukan reformasi pembiayaan partai politik. Caranya, partai dibiayai negara. Di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Australia, partai memang dibiayai negara.

Menurut dia, dengan dibiayai negara, partai tidak lagi sibuk mencari dana secara tidak sah dan melanggar hukum. Selanjutnya, partai bisa berkonsentrasi untuk mencari kader-kader yang berkualitas dan berintegritas. Selama ini banyak dosen muda yang pandai dan berintegritas tetap "tenggelam"di kampus, karena tidak punya dana untuk maju menjadi calon legislator. Begitu juga anak-anak muda yang idealistis dan kritis, tetap harus puas berteriak-teriak dari pinggir jalan. Bagaimana mungkin mereka bisa menyediakan dana miliaran hingga triliunan rupiah untuk bisa duduk di kursi legislatif dan eksekutif?

Demokrasi kriminal seperti ini hanya melahirkan pemilik modal atau mereka yang punya bandar saja yang bisa melenggang menjadi pejabat publik. Menjadi normal bila saat duduk, yang pertama kali mereka lakukan adalah bagaimana mengembalikan investasi dan utang dari para bandar tadi. Maka korupsi besar-besaran yang dilakukan secara berjemaah pun terjadi dengan masif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi saat itu seruan ekonom senior tersebut seperti desahan di padang sahara yang luas. Tak berbekas. Tak berbalas. Nyaris tidak ada elite partai dan pejabat publik yang menanggapinya. Semua sibuk dengan agenda masing-masing. Maksud saya, agenda membegal anggaran untuk melanggengkan kekuasaan dan menggendutkan pundi-pundi pribadi, juga partai.

Pada 2013, Rizal Ramli kembali mencetuskan usulan tersebut. Kembali dia menyerukan perlunya partai dibiayai APBN. Dalam kalkulasinya, anggarannya "hanya" sekitar Rp 5 triliun per tahun dari total APBN yang saat itu Rp 1.600-an triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang penggarongan sistematis anggaran yang mereka lakukan melalui Badan Anggaran (Banggar) yang ditaksir berjumlah tak kurang dari Rp 60 triliun setiap tahun. Ini belum termasuk di DPRD kota/kabupaten dan provinsi.

Tentu saja, dia juga menyadari tingkah-polah kriminal yang boleh disebut telah menyusup ke tulang sumsum para elite kita. Pembiayaan partai oleh negara memang tidak menjamin mereka tidak lagi korupsi. Besarnya dana untuk partai juga sangat mungkin diselewengkan untuk memenuhi syahwat kriminal para petinggi partai.

Itulah sebabnya, ekonom senior tersebut juga menyertakan sejumlah persyaratan dan pengawasan yang ketat atas keuangan partai, plus sanksi tegas dan keras. Misalnya, harus ada audit keuangan oleh lembaga independen dan berintegritas. Lalu, parpol yang tetap juga menggasak uang rakyat bisa dijatuhi sanksi hingga pembubaran. Para pelaku dan elitenya diganjar dengan hukuman pidana amat berat.

Kembali ke awal tulisan ini, isyarat apa yang bisa ditangkap dari wacana Tjahjo agar negara membiayai partai? Akankah ini bakal menjadi awal dimulainya babak baru demokrasi yang bebas dari transaksi dan kriminal?


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Dana Partai Politik dari Negara Suaka Pajak

15 Januari 2024

PPATK menemukan transaksi mencurigakan dari luar negeri ke rekening para bendahara partai senilai Rp 195 miliar.
Dana Partai Politik dari Negara Suaka Pajak

Sebagian dana partai politik terendus berasal dari perusahaan asing karena berdomisili di sejumlah negara suaka pajak


Laporan Awal Dana Kampanye Partai Politik di DKI, Simak Besaran dan Distribusinya

14 Januari 2024

Kendaraan melintas di bawah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang tertutup oleh alat peraga kampanye Pemilu 2024 di Jakarta, Rabu, 27 Desember 2023. Pemasangan APK Pemilu 2024 tersebut melanggar Peraturan KPU yang melarang pemasangan atribut partai atau caleg di fasilitas umum. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Laporan Awal Dana Kampanye Partai Politik di DKI, Simak Besaran dan Distribusinya

Sejumlah partai melaporkan dana kampanyenya Rp 0


Sumber Dana Partai Politik Dilarang dari 5 Pihak Ini, Jika Melanggar Begini Sanksinya

3 November 2023

Petugas bersiap mengendarai kendaraan yang membawa sejumlah bendera partai politik dan bendera partai lokal saat peluncuran Kirab Pemilu tahun 2024 di Banda Aceh, Aceh, Selasa 14 Februari 2023. Peluncuran Kirab Pemilu tahun 2024 secara serentak di delapan lokasi dan salah satunya di provinsi Aceh dengan tema
Sumber Dana Partai Politik Dilarang dari 5 Pihak Ini, Jika Melanggar Begini Sanksinya

Dana Partai Politik harus jelas asal-usulnya. Ada beberapa pihak yang sumbangannya tak boleh diterima, apa saja? Bagaimana sanksi jika melanggar?


Pakar Ekonomi Usulkan Pendanaan Parpol Dibiayai Negara

8 Juli 2023

Rizal Ramli. TEMPO/Subekti
Pakar Ekonomi Usulkan Pendanaan Parpol Dibiayai Negara

Pengamat Ekonomi, Rizal Ramli menyarankan agar pandanaan parpol bersumber dari negara


Kata KPU soal Dana Kampanye Pemilu 2024, Singgung Uang Elektronik dan Sumber Sumbangan

27 Mei 2023

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari memimpin pengambilan sumpah dan janji anggota KPU Provinsi pada 20 provinsi periode 2023-2028 pada pelantikan di Gedung KPU, Jakarta, Rabu, 24 Mei 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Kata KPU soal Dana Kampanye Pemilu 2024, Singgung Uang Elektronik dan Sumber Sumbangan

KPU sampaikan berbagai hal terkait dana kampanye dalam Uji Publik Rancangan Peraturan KPU.


KPU Sebut Baru 9 Partai yang Buka Rekening Kampanye Pemilu 2024

27 Mei 2023

Komisi Pemilihan Umum saat melakukan uji publik terhadap sejumlah rancangan PKPU pada Pemilu 2024 di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Mei 2023. TEMPO/M Julnis Firmansyah
KPU Sebut Baru 9 Partai yang Buka Rekening Kampanye Pemilu 2024

KPU akan memberikan akses terhadap Sidakam kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu pada setiap tingkatan, KPK, dan PPATK.


DKI Usulkan Dana Hibah Partai Naik dari Rp 5 ribu Jadi Rp 7.500 per Suara

15 November 2022

Rapat Komisi B Bidang Perekonomian DPRD DKI Jakarta dengan Dinas Perhubungan Jakarta di Grand Cempaka Resort, Bogor, Jawa Barat, Jumat, 11 November 2022. TEMPO/Lani Diana
DKI Usulkan Dana Hibah Partai Naik dari Rp 5 ribu Jadi Rp 7.500 per Suara

Pemerintah DKI Jakarta mengusulkan dana hibah 10 partai politik di Ibu Kota naik tahun depan.


KPK Dorong Kenaikan Dana Partai Politik

17 September 2022

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Antara/Benardy Ferdiansyah
KPK Dorong Kenaikan Dana Partai Politik

KPK menilai peningkatan bantuan dana partai politik bisa mencegah terjadinya korupsi. Ongkos politik untuk menjadi kepala daerah di Indonesia, besar.


Dana Hibah Partai Politik di Kabupaten Bekasi Naik 300 Persen

30 Desember 2021

Ilustrasi Anggaran. shutterstock.com
Dana Hibah Partai Politik di Kabupaten Bekasi Naik 300 Persen

Pemkab Bekasi naikkan dana hibah partai politik dari Rp 1.500 per suara menjadi Rp 6.000 per suara atau naik hingga 300 persen.


Dana Hibah 10 Parpol di DKI Rp 27,2 Miliar, DPRD: Laporkan Secara Transparan

23 Desember 2021

Ketua Komisi A DPRD DKI Mujiyono. Dok. Pribadi
Dana Hibah 10 Parpol di DKI Rp 27,2 Miliar, DPRD: Laporkan Secara Transparan

Komisi A DPRD DKI meminta partai politik melaporkan penggunaan dana hibah secara transparan, akuntabel, dan dipublikasikan di tempat umum.