Keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri tetap meninggalkan sejumlah catatan. Yang paling mendasar: Presiden ternyata tidak memerintahkan Kepolisian untuk menghentikan operasi kriminalisasi terhadap pemimpin dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
Catatan lain, Presiden memandang problem pada Budi Gunawan seolah setara dengan persoalan hukum yang ditujukan kepada Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya, Bambang Widjojanto. Padahal dua masalah hukum itu jauh berbeda dalam hal skala dan motif pengungkapannya.
Kita tahu sengkarut ini berawal dari langkah Jokowi yang tetap mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Polri, padahal namanya masuk sebagai salah satu polisi pemilik rekening gendut. Komisi antikorupsi, yang telah menyelidiki dugaan suap dan gratifikasi perwira tinggi itu sejak tahun lalu, lantas mempercepat penetapan Budi sebagai tersangka. Alih-alih menolak calon yang berstatus tersangka, DPR justru menyetujuinya.
Markas Besar Polri merespons penetapan tersangka Budi Gunawan dengan operasi besar-besaran mencari kesalahan pemimpin KPK, termasuk menangkap Bambang Widjojanto. Operasi kriminalisasi yang dikendalikan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso itu dibarengi dengan usaha menghalangi pemeriksaan saksi-saksi perkara Budi Gunawan oleh komisi antikorupsi. Situasi semakin buruk setelah hakim Sarpin Rizaldi menerima gugatan praperadilan Budi Gunawan atas penetapan tersangkanya-yang tidak diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana-Senin lalu.
Dari serangkaian peristiwa itu, jelas problem Budi Gunawan dan persoalan hukum Bambang, juga Abraham Samad, jauh berbeda. Status tersangka keduanya merupakan respons kepolisian terhadap langkah hukum komisi antikorupsi. Kriminalisasi inilah yang seharusnya segera dihentikan Presiden, yakni dengan memerintahkan kepolisian menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara.
Jika hal itu dilakukan, Presiden tak perlu mengangkat tiga pelaksana tugas pemimpin KPK seperti sekarang. Apalagi, dari tiga pelaksana tugas tersebut, Johan Budi S.P., Taufiqurrahman Ruki, dan Indriyanto Seno Aji, dua terakhir berpotensi memiliki benturan kepentingan.
Kendati pernah menjadi pemimpin KPK pada periode pertama, Ruki, setelah tak di KPK, banyak melakukan kegiatan politik, terutama dengan Partai Demokrat, yang kadernya terlibat dalam sejumlah perkara di KPK. Begitu juga Indriyanto. Ahli hukum pidana tersebut merupakan penasihat hukum pengendali Bank Century, Rafat Ali dan Hesyam, yang kasusnya juga tengah diusut KPK.
Karena itulah, Ruki dan Indriyanto mesti mendeklarasikan ke publik bahwa, sebagai pemimpin KPK, mereka tetap mengusut semua kasus yang kini disidik KPK, termasuk kasus Century, juga meneruskan penyidikan perkara Budi Gunawan. Demikian pula Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, yang kini diajukan sebagai calon baru Kepala Polri. Badrodin mesti menghentikan operasi kriminalisasi terhadap pemimpin dan pegawai KPK.
Tanpa semua ini, pidato Presiden Joko Widodo pada Rabu lalu itu tak lebih sekadar "gula-gula".