Pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengaitkan hukuman mati atas warganya dengan bantuan tsunami ke Indonesia menunjukkan bagaimana cara pandang pemimpin Australia itu. Cara pandang "menagih balas jasa" seperti itu bukan hanya tidak etis, tapi juga melanggar prinsip dasar pemberian bantuan kemanusiaan. Selayaknya Abbott mencabut pernyataannya dan meminta maaf.
Pernyataan kontroversial Abbott itu dikemukakan di tengah naiknya tensi hubungan Indonesia-Australia akibat upaya melobi Jakarta agar eksekusi atas dua warganya dibatalkan gagal. Kedua orang itu, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, divonis mati karena terbukti mengedarkan narkotik. Saat ini, keduanya sedang menunggu jadwal eksekusi yang kian mendekat.
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyebutkan, jika eksekusi dilaksanakan, warga Australia akan memboikot, tak mau berkunjung ke Indonesia. Sedangkan Abbott mengingatkan bahwa, saat bencana tsunami Aceh pada 2004, Australia berperan besar membantu Indonesia, dan sekaranglah saatnya Indonesia membalas bantuan itu. "Kami mengirim miliaran dolar bantuan, dan beberapa warga Australia tewas dalam operasi kemanusiaan saat itu," kata Abbott.
Abbott lupa, ada kode etik internasional bahwa semua bantuan kemanusiaan tak boleh dikaitkan dengan kepentingan suatu negara. Apalagi menempatkan bantuan itu sebagai utang yang harus dibayar. Principles of Conduct for the International Red Cross and Red Crescent Movement and NGOs in Disaster Response Programmes menyebutkan, bantuan mesti diberikan tanpa perhitungan untung-rugi. Bantuan juga tak boleh diberikan untuk kepentingan politik atau agama.
Abbott bisa saja "mengoreksi" pernyataannya-setelah kecaman bermunculan-bahwa dia semata-mata mengingatkan eratnya hubungan Indonesia-Australia, tidak bermaksud menagih jasa. Namun ini tak mengubah posisi bahwa dia mengaitkan bantuan kemanusiaan itu dengan permintaannya agar eksekusi hukuman mati dibatalkan.
Diplomasi gaya Australia seperti ini sesungguhnya tidak menggambarkan niat baik untuk menjalin hubungan yang tulus dan bersahabat. Tentu Indonesia paham, pelaksanaan hukuman mati merupakan hal yang kontroversial. Masih kuat perdebatan tentang efektif-tidaknya hukuman mati untuk mengatasi kejahatan. Namun, faktanya, hukum positif di Indonesia masih memberlakukan hukuman mati. Bahkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai saat ini belum berhasil disepakati apakah hukuman mati harus dilarang atau tidak.
Bahwa dunia internasional mengecam pemberlakuan hukuman mati, termasuk Sekretaris Jenderal PBB, kita menempatkan hal itu sebagai bagian dari perdebatan layak-tidaknya pemberlakuan hukuman berat tersebut. Hanya, yang juga mesti dipahami, mereka yang akan dihukum mati adalah pelaku yang sudah terbukti melakukan kejahatan berat: mengedarkan narkotik. Tak perlu diperdebatkan lagi betapa merusaknya zat terlarang ini. Korban narkotik bukan hanya si pemakai. Zat ini juga menghancurkan keluarga korban, bahkan menggerus sendi-sendi ekonomi, budaya, dan politik sebuah negara.
Aspek inilah yang semestinya dipahami Australia.