Lambannya investigasi pemerintah soal obat anestesi bermasalah, Buvanest, semakin mempertontonkan betapa kacaunya birokrasi di republik ini. Pemerintah semestinya segera mengumumkan siapa yang bersalah dalam skandal obat anestesi yang isinya tertukar dengan obat pengental darah hingga timbul korban jiwa itu. Langkah cepat akan mencegah khalayak panik.
Amat disayangkan keterangan pemerintah soal ini sangat cekak. Padahal korban sudah ada, dua pasien meninggal pada 12 Februari lalu setelah disuntik obat bius di tulang punggungnya di Rumah Sakit Siloam Lippo Village, Tangerang.
Dari pemeriksaan di rumah sakit, pabrik obat, dan distributor obat, diketahui masalah bermula dari ampul obat bius Buvanest Spinal yang seharusnya berisi Bupivacaine 5 mg/mL. Ini merupakan obat bius melalui injeksi di tulang belakang. Tapi, dari hasil pemeriksaan sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Rumah Sakit Siloam, rupanya ada sebagian botol Buvanest yang berisi asam traneksamat. Obat ini merupakan pembeku darah. Karena itu, akibatnya amat fatal.
PT Kalbe Farma, yang memproduksi Buvanest, sudah menarik obat bius tersebut. Produksinya juga dihentikan. Namun kecemasan telanjur merebak. Penarikan obat di daerah-daerah terpencil juga tak mudah.
Pemerintah telah melakukan investigasi, tapi sudah sepekan lebih belum juga diumumkan siapa yang bersalah. Ketertutupan BPOM memicu berbagai dugaan. Apa yang sedang terjadi? Apakah pemerintah sedang menyembunyikan siapa yang bersalah?
Seharusnya sejak awal pemerintah, Rumah Sakit Siloam, dan Kalbe Farma mengumumkan hasil investigasi secara transparan. Pasien-pasien hanya ingin mendapatkan rasa aman saat dibius.
Soal kesigapan, pemerintah, rumah sakit, dan produsen obat seharusnya becermin pada Amerika Serikat. Pada Oktober 1982, obat penghilang demam dan panas Tylenol diketahui menyebabkan kematian tiga orang. Ini obat rival dari parasetamol. Dalam waktu singkat, pemerintah setempat dan produsen Tylenol, yakni Johnson & Johnson, melakukan investigasi dan mengumumkan bahwa ada botol obat yang tercemar zat beracun sianida. Meski kejadian itu hanya di satu distrik, Johnson & Johnson menarik obat secara nasional. Sebanyak 31 juta Tylenol senilai US$ 100 juta (sekitar Rp 1,26 triliun) ditarik. Pangsa pasar Tylenol anjlok dari 35 persen menjadi 8 persen.
Kesigapan pemerintah dan Johnson & Johnson banyak dipuji. Mereka juga mengubah segel kemasan, sehingga jauh lebih aman. Keterbukaan membuat kepercayaan masyarakat pada Tylenol pulih. Kini Tylenol kembali menjadi market leader di Amerika.
Kecepatan dan ketegasan seperti itulah yang ditunggu-tunggu dari pemerintah dan produsen obat saat ini. Jangan biarkan pasien-pasien dihantui ketakutan karena skandal obat yang tertukar. Tak perlu mencari kambing hitam. Yang lebih penting adalah mencari sumber kesalahan dan membuat sistem pengawasan yang transparan. Tanpa hal itu, kesalahan dalam produksi obat bukan tidak mungkin terjadi kembali.