Para pejabat Indonesia sebaiknya tidak semakin memanaskan hubungan Indonesia dengan Brasil yang telah tegang. Sebab, sepekan belakangan ini berseliweran pernyataan yang memprovokasi semakin memburuknya hubungan kedua negara. Misalnya pernyataan pejabat bahwa Indonesia bisa mengurangi impor, atau lebih spesifik mengkaji pembatalan pembelian persenjataan, kepada Brasil. Saat ini Indonesia sedang dalam proses pembelian satu skuadron (16) pesawat militer. Pernyataan ini seperti menumpahkan minyak ke atas bara.
Sekitar sebulan terakhir, hubungan kedua negara sudah cukup tegang setelah pelaksanaan hukuman mati oleh pengadilan Indonesia atas warga negara Brasil yang terlibat dalam perdagangan narkotik di Indonesia, Marco Archer Cardoso Moreira. Permohonan grasi Moreira ditolak Presiden Joko Widodo. Brasilia pun langsung memanggil pulang duta besarnya.
Ketegangan terus meningkat karena warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte--tertangkap pada 2004 membawa 6 kilogram kokain-juga akan segera menjalani eksekusi mati bersama tujuh warga negara asing lainnya. Hanya, waktu pelaksanaannya belum jelas. Seperti Moreira, permohonan grasi Gularte, yang dinyatakan oleh keluarganya menderita skizofrenia, ditolak oleh Presiden Joko Widodo.
Ketegangan memuncak dengan "penolakan" surat kepercayaan (credential letter) Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto, pekan lalu. Bahkan Dilma Rousseff masih menambahkan ancaman bahwa hubungan kedua negara akan memburuk.
Respons Indonesia sudah cukup keras. Jakarta mengirim protes keras karena tindakan Brasilia dianggap menghina Indonesia. Toto Riyanto, yang merupakan representasi Indonesia, sudah berada di istana kepresidenan bersama beberapa duta besar negara lain untuk menyerahkan surat kepercayaan. Tapi tiba-tiba Toto dipanggil, diberi tahu soal penundaan penerimaan surat kepercayaan tersebut, menunggu respons pemerintah Indonesia soal hukuman mati Gularte. Jakarta layak kebakaran jenggot.
Tak hanya memprotes keras, Istana memanggil pulang Toto. Sebuah tindakan yang cukup keras dalam hubungan dua negara.
Tapi semua tindakan itu sudah cukup. Tidak perlu lagi hubungan diperburuk dengan berbagai pernyataan yang lebih membakar. Wajar sebuah negara berupaya habis-habisan memperjuangkan warganya yang terancam hukuman mati di negara lain. Sama, misalnya, dengan Indonesia yang juga biasa memperjuangkan habis-habisan bila warga negaranya mengalami hal yang sama. Publik dalam negeri akan menekan pemerintah untuk berusaha mati-matian membebaskannya dari hukuman mati. Demikian pula Brasil. Apalagi negeri itu telah meniadakan hukuman mati sejak 1988. Bahkan, seabad silam, hukuman mati sebenarnya tak ada di Brasil kecuali pada masa-masa pemerintahan otoriter. Itu pun lebih dengan alasan keamanan negara.
Indonesia justru sebaiknya membuka pintu komunikasi, menjelaskan filosofi hukum di Indonesia, termasuk hukuman mati terhadap dua warga Brasil tersebut. Dan menyilakan Brasil menggunakan jalur-jalur yang masih mungkin digunakan untuk memperjuangkan warganya. Meski keputusan tetap di tangan Jakarta.
Di sisi lain, Brasil juga tak perlu melakukan tindakan yang provokatif. Melobi dengan santun lebih dihargai daripada mengumbar ancaman. Tindakan marah-marah tak hanya "mengusik" pemerintah, tapi juga bisa memancing emosi rakyat yang merasa negaranya berdaulat, tak mau ditekan-tekan oleh negara lain.
Jadi, maksimalkan penggunaan diplomasi dan upaya hukum yang masih bisa dilakukan. Dan apabila tak juga berhasil, hargai hukum negara lain.