Operasi pasar untuk menurunkan harga beras yang belakangan melambung tinggi bisa dipastikan hanya berefek terbatas. Kalaupun hasil yang tak signifikan itu dianggap cukup, rasa berpuas diri di kalangan pejabat bidang perekonomian sebenarnya hanya akan berusia pendek. Mereka semestinya sadar hal yang sama bakal berulang, karena secara sistem tak ada yang berubah.
Seperti yang sudah-sudah, kenaikan harga kali ini--tertinggi di antara yang pernah ada--terjadi di tengah keadaan ketika stok nasional sebenarnya sedang aman. Setidaknya, begitulah menurut pemerintah; stok yang menginap di gudang-gudang Perum Bulog mencapai 1,4 juta ton. Ini cukup untuk kebutuhan hingga saat panen raya pada April nanti. Besarnya kenaikan bervariasi di berbagai tempat. Tapi dugaan mengenai penyebabnya serupa: ada pedagang, mafia, dan spekulan yang menimbun, serta saluran distribusi yang acak-adul.
Dua faktor itu sudah lama bercokol. Jika hingga kini kenaikan liar harga beras masih saja terjadi setiap kali menjelang panen raya, tentu harus dikatakan bahwa kemampuan pemerintah mengatasi sumber masalahnya luar biasa melempem. Itu pun kalau selama ini ada upaya mengadakan perbaikan.
Memang bisa saja kenaikan harga terjadi karena lonjakan permintaan. Dengan kata lain, ada konsumsi yang meningkat. Penyebabnya bisa berupa tambahan pendapatan di kalangan masyarakat miskin akibat pembagian Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, serta Kartu Keluarga Sejahtera, yang merupakan program Presiden Joko Widodo. Bisa pula karena proporsi konsumsi beras dalam rumah tangga yang masih tinggi.
Masalahnya, dengan tingkat produksi beras dalam negeri setahun terakhir yang bisa dibilang normal, sebesar apa pun kenaikan konsumsi itu akan sulit dipenuhi bila distribusinya ropak-rapik. Semestinya inilah yang menjadi pusat perhatian pemerintah. Upaya serius membenahinya mau tak mau wajib diutamakan. Langkah perbaikan pun sebaiknya dilaksanakan sungguh-sungguh.
Dalam penyelenggaraan distribusi, sekurang-kurangnya ada dua hal yang merupakan sumber masalah, yakni kesenjangan produksi antardaerah dan panjangnya mata rantai antara produsen dan konsumen. Daerah yang bukan produsen beras atau yang tingkat panennya rendah berpeluang mendapat harga lebih tinggi ketimbang daerah yang surplus. Tingkat harga yang sama juga tak terhindarkan bila tengkulak lebih banyak berperan sebagai penghubung antara petani dan pasar.
Pemerintahlah yang bertanggung jawab menangkal keadaan itu dengan menutup kesenjangan produksi serta memperpendek mata rantai antara produsen dan konsumen. Inilah tugas yang harus dijalankan oleh Bulog, badan yang bertanggung jawab mengelola serta mengendalikan persediaan, distribusi, dan harga beras. Sebagai prioritas, yang bisa segera dilakukan Bulog adalah menyusun rencana konkret untuk memutus mata rantai itu.
Agar siklus melambungnya harga beras bisa diakhiri, pelaksanaan rencana-rencana tersebut jelas tak boleh sembarangan.