Mahkamah Agung seharusnya tidak membiarkan terjadinya kekisruhan hukum karena diterimanya tuntutan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru-baru ini. Dalam sidang praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Sarpin Rizaldi itu, calon Kepala Polri terpilih ini menuntut pengadilan membatalkan status tersangka kasus korupsi yang dijatuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yang terjadi kemudian, ketika pengadilan mengabulkan gugatan Budi Gunawan, tersangka lain terpicu mengajukan gugatan serupa. Tercatat bekas Menteri Agama Suryadharma Ali dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan, Fuad Amin, langsung mengajukan tuntutan yang sama.
Sebenarnya Mahkamah Agung bisa mencegah kekacauan hukum ini. Berdasarkan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, obyek yang bisa dipraperadilankan adalah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, materi yang bisa dipraperadilankan adalah ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Agar kekacauan hukum tidak berlanjut, MA sebagai lembaga hukum tertinggi harus memanggil dan memeriksa hakim Sarpin. Mahkamah tak perlu menunggu hasil penyelidikan Komisi Yudisial yang sedang berlangsung. MA perlu memastikan tidak ada permainan dalam putusan mencabut status tersangka Budi Gunawan.
Jika gugatan-gugatan atas status tersangka terus berlanjut, pukulan terkeras terjadi pada proses pemberantasan korupsi. Hasil kerja keras penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti dugaan korupsi pupus, bahkan sebelum sampai ke sidang pengadilan. Belum lagi dampak lain yang ditimbulkan, yaitu pelemahan dan kriminalisasi terhadap KPK.
Kita bisa menyaksikan, setelah gugatan praperadilan Budi Gunawan diterima, aksi pelemahan terhadap KPK seolah mendapat legitimasi. Pemimpin Komisi satu per satu dipreteli, berlanjut pada para penyidik dan pegawai lembaga antikorupsi ini. Setelah wakil ketua Bambang Widjojanto dan ketua Abraham Samad, giliran penyidik senior Novel Baswedan yang menangani kasus Budi Gunawan menjadi tersangka kasus yang terjadi pada 2004.
Dengan kewenangannya, Mahkamah Agung bisa mencegah upaya pelemahan terhadap gerakan antikorupsi ini. Meskipun sesuai dengan Pasal 45 KUHAP, putusan praperadilan tidak bisa dimintakan banding atau kasasi, Mahkamah bisa membuat penafsiran yang lebih luas. Ini pernah terjadi pada kasus praperadilan Newmont pada 2005. Ketika itu, pemohon yang menjadi tersangka mengajukan praperadilan, lalu ditolak. Tersangka kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Terobosan yang dilakukan Mahkamah adalah memutuskan menerima permohonan itu.
Dalam kasus Budi Gunawan, kesalahan sudah terjadi sejak awal, yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima pengajuan gugatan status tersangka. Tugas Mahkamah Agung adalah memastikan kejadian serupa tidak terulang. KPK seharusnya mengajukan peninjauan kembali atas putusan itu, dan Mahkamah Agung bisa mengoreksi dengan menerima permohonan KPK.