Tabrakan sepeda dan runtuhnya sebuah peradaban tentu berbeda, tapi surat kabar, kata George Bernard Shaw, tak bisa melihat perbedaan itu. Shaw sekadar mencemooh, tentu, tapi ada yang mengena di ujung katanya.
Terutama sekarang. Bukan karena wartawan bertambah bodoh, tapi karena peristiwa yang "mendadak-menarik" kian mendesak apa yang "penting". Penasihat media Presiden Reagan, Roger Ailes, pernah memberi contoh: "Jika ada dua orang di sebuah pentas dan yang satu bilang 'saya punya cara menyelesaikan persoalan Timur Tengah' dan orang yang satu lagi jatuh terjungkel ke tempat orkes, tuan pasti tahu siapa yang akan masuk ke berita malam nanti."
Di masa ini, jurnalisme memang tampak kian suka bercerita tentang yang seru dan terjungkel, katakanlah seperti Suara Rakyat Merdeka. Jutaan informasi menderas mencari tempat di kesadaran kita, satu berita menempuh kecepatan ribuan mil per detik, dan pada saat yang sama peralatan dan ongkos bertambah mahal, terutama dengan TV. Kompetisi pun jadi sengit. Semua ingin dibaca dan diikuti, dan tiap berita mengucapkan bismilahnya dengan "lihat, aku memikat".
Sebab, kini pembaca dan penonton harus dibayangkan sebagai "konsumen", bukan teman dialog, dan pasar adalah sebuah berhala: para juragan koran dan TV menyembahnya, sementara mereka juga yang membentuk, membangun, dan merawat sesembahan itu. Media, kata mereka, harus tak mengusik tidur; senangkanlah hati konsumen.
Di negeri tempat kapitalisme media sudah demikian menjulang, kita pun membaca USA Today. Di koran tenar itu, atas nama konsumen, berita perceraian Julia Roberts dari Kiefer Sutherland adalah berita utama, sementara kudeta di Haiti ditulis dalam tujuh kalimat. Di Jepang, layar televisi hampir sepenuhnya diisi pertandingan, tamasya, makanan, dan lagu cinta. Dan tentu saja iklan.
Iklan dan lagu cinta adalah perulangan yang memikat, tapi yang tak kalah memikat adalah apa yang seru dan seram. John H. McManus menulis sebuah studi, Market-Driven Journalism, dan mengutip pengakuan seorang wartawan CBS yang meliput secara timpang perjuangan orang Hitam di Amerika di tahun 1960-an: di berita malam CBS ia lebih menampilkan tokoh militan yang menghunus tinju; ia mengabaikan si moderat yang punya rencana bantuan untuk si miskin. Sebab, kontras, konflik, dan kekerasan, seperti cerita silat, lebih memukau.
Itu pula yang dilakukan CNN. Menyusul 11 September 2001, sehabis serombongan teroris menabrakkan pesawat ke menara World Trade Center, CNN menampilkan para pemuda Palestina yang bersorak gembira. CNN tak pernah mencoba bertanya kenapa. Saya tak ingat apakah CNN menyiarkan laporan tentang para pemuda Teheran yang menyalakan lilin berkabung. Mungkin tidak. Kejadian di Teheran itu "berita", tapi tak ada konflik seperti film action. Atau sesuatu telah berubah: "berita" adalah hiburan, "berita" sama dengan film Jackie Chen.
Jurnalisme Indonesia kini mulai punya Jackie Chen-nya sendiri. Tentu, surat kabar utama di Indonesia belum seperti USA Today. Dari pengalaman Amerika juga masih bisa dilihat bahwa kapitalisme juga menghasilkan koran seperti The New York Times, The Washington Post, dan Los Angeles Timesyang sedikit-banyak tahu bedanya tabrakan sepeda dengan runtuhnya sebuah peradaban. Radio di Indonesia, untunglah, sedang berbulan madu dengan yang dulu di zaman Soeharto tak ada: kebebasan membuat berita sendiri. Dan TV di Indonesia, syukurlah, masih sering berjasa menghadirkan apa yang terjadi di DPR dan mengundang tukar pendapat yang matang dari sudut yang berbeda.
Tapi bisakah semua itu bertahan, ketika kongkurensi kian sengit, ketika keharusan ke arah komersialisasi kian mendesak? Bukankah tendensi untuk memberhalakan pasar sudah terpendam dalam sistem media, juga di sini?
Ada sebuah anekdot tentang Emil Salim. Ia masuk rumah sakit selama dua pekan. Selama di tempat tidur itu, tak banyak yang bisa dikerjakannya selain menonton TV. Waktu itu zaman Orde Baru. Emil Salim menonton TV terus sampai ia keluar rumah sakit. Kembali di rumahnya, ia pun menulis sepucuk surat kepada Yang Terhormat Direktur Jenderal Radio, Film, dan TV, Subrata. Emil Salim, guru besar UI, kolumnis Harian Kami dan TEMPO, menulis keluhan bahwa selama dua pekan itu ia bertambah bodoh.
Emil Salim, seorang bekas menteri, mungkin agak naf: ia seharusnya tahu bahwa di bawah Menteri Penerangan Harmoko dan Direktur Jenderal Subrata, khalayak Indonesia memang tak diharapkan jadi pandai. Yang penting adalah patuh dan pasif. Kini Harmokoisme itu sudah tak ada, tapi Emil Salim, bersama kita semua, masih bisa bertanya mungkinkah penonton jadi tidak pasif, bila ia hanya bagian dari pasar, sang berhala, yang dibangun oleh telenovela Latin dan sinetron Raam Punjabi?
Persoalannya bukanlah karena sinetron itu terasa tolol, tapi sesuatu yang lebih serius: ada hubungan antara industri Raam Punjabi dan hampanya kehidupan publik. Jurnalisme jadi penting karena kehidupan publik itu penting. Ketika orang mulai ogah politikbagian penting dari kehidupan publik ituketika politisi yang dipilih tak punya kontak lagi dengan pemilihnya, ketika orang merasa dirinya tak punya arti dalam keputusan untuk kehidupan bersama, jurnalisme akan digusur telenovela.
Sebaliknya, ketika jurnalisme gagal memberikan makna atas jutaan informasi yang berseliweranketika reporter hanya tertarik pada orang yang terjungkel dan tak bertanya bagaimana caranya menyelesaikan konflik Timur Tengahberita dan ulasan itu pun jadi telenovela. Setelah itu kemerdekaan, juga demokrasi, jadi impian yang melintas di celah-celah iklan, seperti sinetron Raam Punjabi.
Goenawan Mohamad