TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Ja'far, Pengamat Politik Timur Tengah
Sebanyak 16 warga negara Indonesia (WNI) melakukan perjalanan ke Turki. Ada dugaan, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Suriah untuk kemudian berafiliasi dengan kelompok Islamic State of Iraq and Sham (ISIS). Investigasi terus dilakukan pihak berwenang untuk mendalami motif dan menelusuri modusnya.
Fakta ini sebenarnya bagian dari lampu kuning potensi koneksi ideologis dan praktis antara ISIS dan kelompok radikal di Indonesia yang sudah terendus dalam satu tahun terakhir. Sejak dideklarasikan di Irak, ISIS membangkitkan gairah radikalisme di Tanah Air. Pekerjaan rumah pemerintah untuk menyelesaikan problem terorisme belum tuntas, dan kini sudah harus berhadapan dengan sebuah gejala baru radikalisme. ISIS tentu hadir dengan mengusung arkeologi teror baru. Motif, modus, dan varian aksinya akan berbeda dengan Al-Qaidah. Konsekuensinya, resep penanggulangannya tidak boleh sama dengan solusi atas Al-Qaidah.
Radikalisme memiliki dua aspek, yakni software dan hardware. Perangkat lunak menyangkut aspek ideologis, sedangkan perangkat keras berkaitan dengan sisi jaringan organisasi. Satu dan yang lainnya saling terkait. Jaringan adalah medium yang digunakan untuk mengimplementasikan ideologi. Tanpa ideologi, jaringan akan lumpuh. Setelah tewasnya Usamah bin Ladin, jaringan Al-Qaidah yang tersebar di berbagai negara seakan-akan kehilangan tuannya. Di sisi yang lain, tugas menanggulangi terorisme relatif dianggap selesai. Padahal tewasnya Usamah memunculkan persoalan lain yang tak kalah kompleks. Jaringan Al-Qaidah berpotensi bermetamorfosis dalam bentuk yang berbeda, berevitalisasi dengan energi baru, serta bersinergi dengan jaringan lain.
Munculnya ISIS berpotensi menjadi tuan bagi jaringan radikal yang sedang mencari tuan baru tersebut. Jika aspek software-nya sudah terpaut, dengan sendirinya perangkat kerasnya akan bersinergi. Tersedianya perangkat lunak dan keras bisa menjadi bonus bagi ISIS untuk mengakselerasi tugas, pokok, dan fungsi organisasinya. Tantangan inilah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi ancaman gerakan radikalisme dengan ISIS sebagai ikon barunya. Investigasi menunjukkan bahwa di antara 16 WNI yang menghilang di Turki dan diduga hendak bergabung dengan ISIS adalah keluarga dari terduga teroris yang tewas di Tulungagung, Jawa Timur. Ini membuktikan bahwa terjadi koneksi di tataran perangkat keras.
Tantangan serupa dihadapi oleh berbagai negara yang selama ini mengidap problem radikalisme. Agenda perang melawan ISIS yang dinakhodai Amerika Serikat dan koalisinya sejauh ini relatif gagal, baik di tataran hardware, terlebih lagi software. Jaringan ISIS menunjukkan gejala justru semakin menguat dan meluas ke berbagai penjuru negeri. Ideologi ISIS juga semakin kuat auranya, sehingga memikat beberapa kelompok masyarakat untuk berafiliasi menjadi anggotanya. Beberapa negara tak mampu membendung warganya yang bergabung dengan ISIS dengan cara berangkat ke Suriah. Modus lainnya, tidak dengan berangkat, tapi cukup dengan berkomitmen jarak jauh dan mengkonsolidasikan jaringan di luar Suriah dan Irak. Dari sisi ini, percepatan gerakan ISIS untuk merekrut kader melebihi kecepatan Al-Qaidah.
Gelombang keberangkatan WNI untuk bergabung dengan ISIS sebenarnya telah terjadi sejak satu tahun terakhir. Hanya, polanya masih tersembunyi dan luput dari sorotan perhatian publik. Turki menjadi pintu masuk paling strategis, karena negara ini memang yang paling longgar pengawasan perbatasannya dengan Suriah. Ini tak terlepas dari kepentingan politik kawasan negara itu untuk menjatuhkan Bashar al-Assad, Presiden Suriah. Akibatnya, sebagaimana Arab Saudi, Turki pun harus menerima konsekuensi berupa arus balik radikalisme ke negaranya: pulangnya mereka yang telah menerima latihan dengan ideologi radikal ISIS.
Gelombang keberangkatan radikalisme selalu akan diikuti oleh gelombang kepulangan radikalisme. Lebih dari itu, gelombang keberangkatan (hardware) akan membangun koneksi ideologis (software), hingga pada akhirnya sempurnalah keduanya sebagai sebuah perangkat radikalisme. Pemerintah Indonesia harus serius menghadapi persoalan ini. Bahaya radikalisme berbasis ideologi ISIS ini tidak hanya laten, tapi juga cepat akselerasinya. Gelombang keberangkatan harus segera diputus. Gelombang kepulangan harus segera ditindak.