TEMPO.CO, Jakarta - Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St. Vincent de Paul
Setelah eksekusi mati gelombang pertama atas enam orang, kini menanti eksekusi mati gelombang kedua, yang di antaranya melibatkan dua terpidana mati kasus narkotik Bali Nine.
Presiden Joko Widodo memang sudah menolak permohonan grasi 58 terpidana narkotik lainnya. Menurut pemerintah, Indonesia tengah menghadapi darurat narkotik, sehingga hukuman mati ini merupakan bagian dari kedaulatan hukum Indonesia.
Terkait dengan upaya negara-negara lain, khususnya Australia, yang ingin membebaskan warganya dari hukuman mati, publik Indonesia seharusnya justru mau belajar sekaligus menghargai upaya mereka dalam memperjuangkan nyawa warga negara mereka. Tidak hanya Perdana Menteri Australia Tony Abbot atau Menteri Luar Negeri Julie Bishop yang terus bersuara, elemen lain juga dikerahkan.
Misalnya, anggota Senat Australia, Nick Xenophon, bersama Imam Masjid Afghan, Adelaide, Australia, Syekh Kafrawi Abdurrahman Hamzah, mendatangi pengurus besar Nahdlatul Ulama di Jakarta. Mereka meminta dukungan agar eksekusi mati atas Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, ditunda. Menurut pemimpin NU, eksekusi mati terhadap terpidana narkotik sudah sesuai dengan UUD 1945, dan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi seperti para terpidana narkotik memang harus dihukum mati. Namun tidak semua hukuman mati didukung NU. Nick Xenophon bisa menerima sikap PBNU dan mengaku tak bisa mengintervensi hukum Indonesia.
Kita juga berharap masalah hukuman mati ini tidak sampai merusak hubungan Indonesia dengan Australia, sebagaimana harapan PM Tony Abbott yang beberapa kali menelepon Presiden Jokowi agar menunda eksekusi mati terhadap dua warga negara Australia.
Memang, dalam hidup bertetangga, wajar saja ada pasang-surut. Meski ucapan Tony Abbott yang mengungkit bantuan tsunami Aceh 2004, yang telah mendorong gerakan sumbangan uang receh dari Australia, Indonesia jangan pernah melupakan jasa Negeri Kanguru tersebut. Jangan lupa, dulu, para buruh pelabuhan Australia pada awal kemerdekaan RI gigih mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Pemerintah Partai Buruh di bawah Perdana Menteri Joseph Benedict Chifley, seorang aktivis buruh yang puritan, juga mendukung Indonesia dari sisi diplomasi.
Karena itu, kita jangan mencela atau bersikap sinis terhadap upaya yang ditempuh negara tetangga kita di selatan itu untuk memperjuangkan nyawa dua warga negaranya. Jangan lupa, di berbagai negara di dunia, terdapat 229 warga negara Indonesia tengah menghadapi hukuman mati. Dari total warga negara yang terancam hukuman mati, sebanyak 131 orang merupakan terpidana terkait dengan kasus narkotik. Bagaimanapun, eksekusi mati terhadap para terpidana narkotik yang dilakukan pemerintah Jokowi kian mempersulit posisi para warga negara Indonesia yang divonis mati di luar negeri.
Memang, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi berjanji pemerintah akan mendampingi mereka. Namun, selama ini, upaya pemerintah, DPR, dan LSM dalam membela nyawa warga negara Indonesia yang terancam hukuman di luar negeri masih kurang maksimal. Kementerian Luar Negeri pada masa lalu memang sudah memberi bantuan advokasi atau mengadakan kunjungan ke penjara. Namun, harus diakui, kita belum melakukan upaya mati-matian dalam memperjuangkan nyawa warga kita yang terancam hukuman mati di luar negeri, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Australia.