Migrasi konsumen menggunakan elpiji bersubsidi harus disetop. Sebab, peralihan pengguna elpiji nonsubsidi kemasan 12 kilogram ke gas bersubsidi ukuran 3 kilogram secara besar-besaran merugikan pemerintah. Anggaran subsidi gas membengkak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015, subsidi untuk elpiji "tabung melon" ini ditetapkan Rp 25-28 triliun. Kini, bujet itu harus dinaikkan menjadi Rp 35 triliun dalam APBN Perubahan 2015.
Sudah dua pekan lebih elpiji tabung melon seperti "hilang" dari pasar. Itulah akibat dari migrasi konsumen. Rumah tangga dan industri mikro yang semula menggunakan elpiji tabung biru beralih menyerbu melon.
Ini merupakan dampak disparitas harga. Perbedaan antara elpiji melon dan tabung biru semakin lebar sejak PT Pertamina (Persero) menaikkan harga. Per 1 Maret lalu, elpiji nonsubsidi dijual Rp 134 ribu per tabung, naik Rp 5.000 dari harga sebelumnya. Bandingkan dengan harga gas melon yang cuma Rp 16 ribu per tabung.
Kesenjangan antara harga gas bersubsidi dan nonsubsidi sebenarnya telah terasa sejak dua bulan sebelumnya. Pada 2 Januari 2015, Pertamina mengerek harga elpiji nonsubsidi sebesar Rp 18 ribu menjadi Rp 134.700 per tabung. Alasannya, untuk mencapai tarif keekonomian. Tak sampai sebulan kemudian, pemerintah melakukan intervensi dengan menurunkannya ke harga Rp 129 ribu pada 19 Januari.
Adapun harga gas bersubsidi masih jalan di tempat, yakni Rp 11.550 per tabung, dari Pertamina ke agen. Selanjutnya, di tingkat pangkalan, harga eceran tertinggi ditentukan oleh pemerintah daerah. Semestinya harga komoditas ini pun naik seiring dengan kenaikan harga gas di pasar dunia. Tapi faktanya tidak. Pertamina sempat menawarkan dua opsi: menaikkan harga Rp 1.000 per kilogram, atau menaikkan subsidi supaya harga jual tetap. Pemerintah memilih opsi kedua.
Pertamina sadar, keputusan itu menyebabkan kesenjangan antara harga elpiji bersubsidi dan nonsubsidi kian menganga. Dampaknya, konsumen meninggalkan elpiji tabung biru, beralih ke tabung melon. Itulah yang sekarang terjadi: elpiji bersubsidi langka di mana-mana karena permintaan naik berkali lipat.
Untuk mengatasinya, pemerintah dan Pertamina menggelar operasi pasar. Bertruk-truk elpiji tabung melon dikeluarkan untuk mengguyur pasar. Tapi langkah itu saja tidak cukup. Operasi pasar hanyalah solusi jangka pendek. Pemerintah seharusnya memikirkan penyelesaian yang bersifat jangka panjang.
Kuncinya adalah disparitas harga. Semakin lebar kesenjangan, para spekulan semakin berpesta dengan mempermainkan stok dan harga. Potensi tindak kriminal lain adalah pengoplosan isi elpiji tabung melon dengan tabung biru, lantas dijual dengan harga nonsubsidi.
Pemerintah harus berani mengambil kebijakan seperti yang dilakukan pada bahan bakar minyak. Subsidi BBM yang bertahun-tahun membebani anggaran negara menjadi lebih longgar sejak diberlakukan mekanisme subsidi tetap. Kebijakan ini pula yang sekarang diperlukan untuk komoditas elpiji.