Pemerintah hendaknya mengkaji lebih matang sebelum menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap tarif jalan tol. Jika diberlakukan tidak tepat, pajak ini justru akan merugikan perekonomian. Untuk menggenjot penerimaan pajak, pemerintah bisa memaksimalkan pajak lain.
Pajak jalan itu direncanakan mulai berlaku pada April mendatang. Menurut hitungan Direktorat Jenderal Pajak, pungutan PPN sebesar 10 persen itu ditaksir menyumbang pendapatan sebesar Rp 1,2 triliun hingga akhir 2015.
Tentu saja mereka berhak menarik pajak atas tarif tol, karena hal ini tidak termasuk jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN Tahun 1999 ataupun sejumlah revisinya.
Hanya, penerimaan negara dari pajak tol yang sebesar Rp 1,2 triliun sebenarnya amat sedikit dibanding target pajak yang sebesar Rp 1.400 triliun. Tidak sampai 0,1 persen. Penerimaan itu akan terasa semakin kecil jika dibandingkan dengan dampak inflasi yang ditimbulkannya. Diperkirakan pengenaan PPN tarif tol akan mengerek biaya logistik sekaligus harga jual produk dan menyumbang 0,1-0,2 persen terhadap inflasi.
Inflasi bisa bertambah karena selama ini jalan tol menjadi salah satu urat nadi perekonomian. Truk-truk logistik-terutama di Pulau Jawa-memakai jalan tol sebagai salah satu jalur utama pengiriman barang. Dengan adanya pajak tol, biaya pun bertambah. Dalih Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo bahwa pajak ini tidak akan memberatkan masyarakat karena mayoritas pengguna jalan tol adalah masyarakat mampu perlu dipertanyakan.
Jika memang ingin memakai dalih itu, pemerintah seharusnya menerapkan pajak tol secara selektif. Misalnya pajak 10 persen itu bisa dikenakan terhadap mobil-mobil pribadi. Sedangkan truk logistik dikenai pajak nol persen alias dibebaskan. Ini bukanlah hal sulit, karena tarif tol sudah terklasifikasi dalam empat golongan. Misalnya golongan 1 hanya untuk kendaraan pribadi yang terkena pajak, dan semua jenis angkutan barang dikeluarkan dari golongan ini.
Sebenarnya, daripada memungut pajak kecil yang berdampak lebih besar, seperti pada tarif tol, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak dari sektor lain yang jelas potensial, seperti pertambangan. Tahun lalu, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan ada 9.000 perusahaan tambang yang belum membayar pajak. Setiap perusahaan tambang itu berpotensi membayar pajak sebesar Rp 20 miliar. Artinya, secara total, negara berpotensi mendapat Rp 180 triliun. Jauh lebih besar daripada pajak tol.
Tentu saja hal itu tak mudah. Ada kesulitan dalam menghitung hasil tambang yang dikeluarkan, masalah pengawasan yang lemah, suap-menyuap yang luar biasa, serta ketersediaan sumber daya manusia di Dirjen Pajak. Mengutip pajak tambang jauh lebih ribet daripada menerapkan PPN pada tol atau menaikkan harga materai yang otomatis bisa berjalan begitu peraturan ditandatangani. Tapi pemerintah tentu tidak bisa mencari cara gampang jika ingin mendapatkan hasil yang besar.